REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Hanura, Dadang Rusdiana menyatakan salah satu alasan Dewan Pengurus Pusat (DPP) memecat Ketua Umum Oesman Sapta Odang (OSO) adalah perihal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Setidaknya, kata Dadang, ada persoalan dalam Pilkada selama kepemimpinan OSO. Yakni mengenai Surat Keputusan (SK) ganda dan uang mahar.
Terkait mahar politik yang dipungut dari sejumlah calon kepala daerah, Dadang menyerahkan kepada pihak berwajib, termasuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurutnya, uang yang dipungut dari calon kepala daerah, jumlahnya pun bervariasi dari Rp 350 juta sampai dengan Rp 1.25 milyar. Adapun jumlahnya mencapai Rp 200 milyar.
"Kasihan mereka, untuk nyalon juga harus bayar, ketua DPD nyalon harus bayar. Ya bervariasi. Minimal 1 kursi Rp 350 juta itu untuk bupati tapi bisa lebih. Gubernur Rp 1,3 miliar, Rp 1.25 milyar," jelas Dadang Rusdiana, saat ditemui di kantor DPP Partai Hanura, Jakarta Timur, Kamis (18/1).
Kemudian uang tersebut ke perusahaan pribadi OSO. Sebenarnya, DPP Partai Hanura bisa memaafkan terkait uang mahar tersebut, apabila dialokasikan untuk kebutuhan Pilkada. Misalnya untuk membayar saksi, serta keperluan lain secara transparan. "Ini yang jadi problem itu uang masuk dan kemudian disimpan di rekening perusahaan. Ini kan jadi masalah. Kami serahkan pihak yang berwajib," katanya.
Selanjutnya terkait kemunculan sejumlah SK ganda untuk Pilkada serentak di beberapa daerah, karena OSO dirasa tidak konsisten dalam membuat keputusan. Bahkan, kata Dadang, sering membuat dan membatalkan SK yang sudah ditandatangani oleh Sekjennya. Jadi apabila Sekjen menolak menandatangani SK, maka OSO meminta Wasekjen untuk menandatanganinya. Akibatnya ada dua SK yang berbeda dalam satu daerah.
"SK-nya diganti, maharnya tidak dikembalikan, ini kan udah mencoreng Partai Hanura. Misalnya di Purwakarta juga di Garut, Kabupaten Luwu, Tarakan, banyak daerah, jadi banyak SK ganda," ujar Dadang Rusdiana.