REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei para profesional di seluruh Asia Pasifik (APAC) menemukan bahwa, terlepas dari mereka merasa pekerjaan tersebut cocok, hampir 8 dari 10 (79 persen) responden cenderung untuk tidak menerima pekerjaan jika mereka diperlakukan buruk selama proses perekrutan. Survei, yang dilakukan oleh divisi Futurestep dari Korn Ferry (NYSE:KFY), menjelaskan pentingnya bagi organisasi untuk menekankan pengalaman kandidat selama proses perekrutan.
Sementara itu, hanya lebih dari sepersepuluh (14 persen) yang akan tetap menjadi pelanggan sebuah perusahaan jika mereka memiliki pengalaman buruk sebagai seorang kandidat, lebih dari setengah (51 persen) akan cenderung mengajak teman-teman dan anggota keluarga mereka untuk berhenti menjadi pelanggan. Terlebih lagi, seperempat (27 persen) akan mempertimbangkan untuk menggunakan media sosial untuk membagikan pengalaman buruk mereka sebagai seorang kandidat suatu pekerjaan.
“Kegagalan menyajikan lingkungan yang efektif dan informatif selama proses perekrutan, bisnis atau perusahaan akan menjauhkan diri dari kandidat-kandidat terbaik, serta berpotensi kehilangan pelanggan setia,” ucap Pip Eastman, Managing Director, APAC Regional Solutions, Futurestep.
Ditambahkan oleh dia, hal ini berarti uang dan waktu akan terbuang, dan kemungkinan kehilangan pendapatan karena kehilangan pelanggan. Ketika ditanya apa yang paling mengecewakan mereka selama proses perekrutan, dua hal muncul sebagai alasan utama. Meskipun sebanyak dua perlima (44 persen) mengatakan tidak menerima informasi lanjutan dari perekrut atau manajer merupakan hal yang paling mengecewakan, hampir sepertiga (32 persen) menunjuk pada orang yang tidak sopan saat wawancara.
Hal ini menjadi penting ketika mempertimbangkan bahwa para responden sering mencari petunjuk dan dukungan dari para perekrut dan manajer selama proses perekrutan, dengan hampir sepertiga (30 persen) mengatakan mereka tidak percaya para perekrut memberikan bekal dan tips yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan. "Tidak ada alasan sama sekali bagi perekrut dan manajer untuk tidak menanggapi para kandidat, bahkan jika komunikasi tersebut berbentuk elektronik. Teknologi baru dan peralatan AI mempermudah tugas perekrutan tradisional, memberikan lebih banyak waktu bagi perekrut untuk melayani kandidat yang sesuai dan memberikan nasihat strategis kepada klien mereka," lanjut Eastman.
Komunikasi dari mulut ke mulut juga merupakan faktor kunci untuk kemungkinan perekrutan, dimana hampir setiap responden (93 persen) mengaku melakukan riset online terlebih dahulu untuk mengumpulkan ulasan tentang bekerja di suatu perusahaan. Taktik utama untuk menjaring kandidat adalah dengan mengadopsi strategi branding perekrut, yang dapat dihidupkan kembali dengan menggunakan platform digital perusahaan. Untuk sepertiga (33 persen), elemen yang paling penting bagi mereka di dalam situs web adalah melihat langsung melalui video atau mengetahui studi kasus dari berbagai karyawan mengenai budaya perusahaan dan bagaimana rasanya bekerja di sana.
Kebutuhan untuk menampilkan diri sebagai perekrut menjadi lebih penting lagi, dan dampaknya terhadap bagaimana perekrut berkomunikasi dan menjual cerita mereka kepada kandidat merupakan hal yang tidak bisa dianggap remeh. "Perekrut dan manajer penguji seharusnya melihat budaya perusahaan dan memastikan bahwa strategi go-to-market sejalan dengan merek. Suatu merek yang dapat mengkomunikasikan tujuan dan budayanya — dan bagaimana peran setiap individu di dalam — pada akhirnya akan tampil sebagai rekruter yang jauh lebih menarik," ujar Neil Griffiths, Vice President, Global Brand, Marketing & Communication, Futurestep dalam keterangan resminya Kamis (18/1).