REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Bangladesh menyatakan bahwa proses repatriasi pengungsi Rohingya akan diselesaikan dalam kurun waktu dua tahun. Repatriasi rencananya akan dimulai pada Selasa (23/1) pekan.
Namun, Wakil Ketua Baznas, Zainulbahar Noor menyebutkan bahwa repatriasi tersebut akan sulit dilakukan dan bahkan membutuhkan waktu puluhan tahun.
"Pengembalian dari pengungsi itu tidak mudah. Banyak sekali persoalannya. Itu kalau pun bisa berjalan bisa puluhan tahun," ujarnya saat ditanya Republika.co.id dalam konferensi pers di Kantor Baznas, Jakarta Pusat, Jumat (19/1).
(Baca: Baznas Siapkan Rp6 Miliar Bantu Pengungsi Rohingya)
Sebelumnya, Vice President Aksi Cepat Tanggap (ACT), Ibnu Khajar juga mengatakan hal senada. Bahkan, ia menyebut bahwa kesepakatan antara Myanmar dengan Bangladesh tersebut merupakan gagasan paling "gila". Apalagi, infrastruktur di Myanmar sudah dibakar semua, sehingga para pengungsi Rohingya tidak mempunyai tempat untuk kembali ke desanya.
Rencananya, menurut Ibnu, mereka akan ditempatkan di sebuah desa di Mundu. Oleh karena itu, Ibnu menilai para pengungsi Rohingya akan kembali menempati tempat pengungsian, bukan pulang ke desanya.
"Tapi yang mengerikan Mundu ini tidak bisa diakses oleh lembaga kemanusiaan atau negara lain di luar Myanmar," ujar Ibnu kepada Republika.co.id, Kamis (18/1).
Ibnu pun menilai repatriasi tersebut disepakati karena Bangladesh tidak ingin berlama-lama menampung etnis Rohingya di negaranya. Sementara, Myanmar diduga hanya menggunakan kesepakatan ini untuk memperbaiki citra buruknya di dunia Internasional.
Untuk itu, bantuan kemanusiaan harus tetap dilakukan oleh lembaga-lembaga kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya. Bantuan pangan, kesehatan dan pendidikan harus tetap digulirkan guna meringankan penderitaan para pengungsi.