REPUBLIKA.CO.ID, Aisyiyah memiliki perhatian besar terhadap tumbuh kembang anak. Berbagai program dan kegiatan untuk meningkatkan aspek pendidikan dan kesehatan anak pun disusun dan diimplementasikan. Tercatat, Aisyiyah adalah organisasi perempuan yang pertama kali mengadakan baby show (kontes bayi sehat).
Kontes bayi sehat ini dimaksudkan agar masyarakat mempunyai perhatian terhadap kesehatan anak. ‘’Waktu itu, Aisyiyah sudah memperhatikan pertumbuhan anak termasuk asupan gizi. Jadi sejak dulu Aisyiyah juga sudah mencegah adanya stunting,’’ kata Ketua PP Aisyiyah, Shoimah Kastolani.
Terlebih saat ini di mana berbagai persoalan menyangkut anak juga kian berkembang, menjadi keprihatinan jajaran pengurus Aisyiyah. Mulai dari maraknya maraknya kekerasan bahkan perkosaan terhadap anak. Kondisi tersebut kemudian dibahas secara khusus dalam Rakernas PP Aisyiyah sekaligus meluncurkan Gerakan Aisyiyah Cinta Anak (GACA).
‘’Kita juga mengeluarkan buku panduan untuk GACA dan diteruskan dengan mengadakan pelatihan relawan. Sehingga jika ada kekerasan supaya segera dapat ditindaklanjuti oleh para relawan,’’ jelas Shoimah.
Gerakan ini, menurutnya, harus bersifat masif sampai ke bawah sehingga cabang Aisyiyah pun harus memiliki relawan GACA. Paling tidak, relawan ini mengingatkan masyarakat agar peduli apabila terjadi kekerasan. Relawan GACA tidak hanya melakukan pendampingan, melainkan juga advokasi.
Ia lantas menuturkan, leading sector GACA adalah Majelis Kesejahteraan Sosial. Nantinya, setiap terjadi persoalan hingga tingkat hukum, maka dapat berkoordinasi dengan Majelis Hukum dan HAM Aisyiyah yang punya Posbakum (Pos Bantuan Hukum) di daerah. Sehingga relawan pada tingkat lanjut mendapat pelatihan paralegal.
Panti sebagai pusat pelayanan
Lebih lanjut Shoimah menambahkan, mulai periode ini pihaknya berupaya mengubah pola pikir terkait panti yang selama ini hanya untuk melayani anak yatim. Nantinya, panti bakal menjadi pusat pelayanan dan mengembangkan tafsir Al-Ma’un bukan hanya untuk orang, melainkan juga untuk keperluan pengembangan ilmu, kesendirian, dan komunitas terpencil.
Jadi, jelas Shoimah yang juga koordinator Majelis Kesejahteraan Sosial dan Biro Organisasi, panti harus menjadi pusat pelayanan yang melindungi anak korban kekerasan, komunitas terpencil, baik yang ada di panti maupun di komunitas. Hal ini sudah dikembangkan di Bengkulu. “Karena di Bengkulu banyak kasus kekerasan. Sehingga nanti bisa menjadi contoh dan dikembangkan ke wilayah lain,” ujarnya.
Selain itu juga ada panti inklusi. Misalnya dari 40 anak yang tinggal di panti, lima orang di antaranya difabel. Hal ini sudah dilaksanakan di Ponorogo, Jawa Timur. Awalnya khusus panti difabel, kemudian menerima anak yatim. Anak difabel akan diberi keterampilan sesuai dengan bakat dan minatnya.
Untuk itu, diadakah kerja sama dengan Majelis Ekonomi sehingga anak difabel tersebut bisa mandiri. Jadi, nantinya di daerah-daerah yang semula panti hanya untuk yatim diharapkan juga dapat menerima anak difabel. Hal ini tentu saja memperluas perlindungan Aisyiyah terhadap anak,” kata dia.
Menurutnya, semua program di Majelis Aisyiyah saling bersinergi. Seperti halnya di Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Tengah sudah banyak mendampingi dan mengadvokasi hukum anak dan perempuan difabel yang bermasalah, dan mereka bekerja sama dengan Majelis Kesejahteraan Sosial dan Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Tak hanya itu, Aisyiyah juga mempunyai perhatian besar terhadap pernikahan anak. Karena pernikahan anak dampaknya luas. Di samping rentan terhadap kekerasan, anak juga belum siap secara psikis. Sehingga rentan mengalami perceraian. Kondisi kesehatan reproduksi perempuan yang menikah dini pun akan rentan terhadap penyakit menular dan bisa mengakibatkan kematian bila melahirkan.
Karena itu, jelas dia, dalam Tanwir Aisyiyah yang bakal diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Surabaya pada 19-21 Januari mendatang, selain diselenggarakan seminar penguatan keluarga, juga akan dilakukan MoU antara Kementerian Agama dan PP Aisyiyah terkait masalah pernikahan anak.