REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ferry Kisihandi, dari Brussels, Belgia
Satu per satu penonton memasuki ruangan. Lalu, mereka duduk di bangku hijau di salah satu dari lima theatre di Bioskop Cinema Vendome, Brussels, Belgia.
Saur Sepuh: Satria Madangkara, film aksi kolosal produksi tahun 1988, mendapatkan giliran diputar, pukul 19.00 waktu setempat. Film berdurasi sekitar dua jam ini merupakan adaptasi sandiwara radio yang dikenal pada era 1980-an.
Saur Sepuh menjadi satu dari puluhan film yang diputar di bioskop di Bozar dan Cinema Vendome dari 9 Januari hingga 23 Januari 2018. Film menjadi bagian dari produk seni yang ditampilkan Indonesia dalam ajang Europalia Arts Festival.
Tahun ini, Indonesia menjadi tamu dalam ajang seni yang diselenggarakan setiap dua tahun itu di Belgia. Dua tahun sebelumnya, giliran Turki menjadi tamu.
Kurator Program Film Nan T Achnas menyatakan, pihaknya ingin menunjukkan keragaman di Tanah Air dengan memboyong film dengan tema berbeda. Tak heran jika ia menghimpun sekitar 51 film panjang, film pendek, dan dokumentasi di Brussels, yang tak hanya fokus soal persoalan di Jawa tetapi juga di Nusa Tenggara Timur, Sumatra, dan daerah lainnya.
‘’Kami ingin mengubah mindset atau pola pikir penonton Eropa tentang Indonesia,’’ kata Nan seusai pemutaran Saur Sepuh di Brussels, Jumat (19/1) malam.
Nan menambahkan, biasanya alur berita yang diterima mereka klise dan bersifat stereotype berupa banjir, kerusuhan, rebutan makanan, dan terorisme. ’’Kami ingin mengubah world view itu.’’
Dengan film yang sangat beragam, penonton mendapatkan banyak persepsi tentang Indonesia. Hal menarik, jelas Nan, juga persepsi mereka tentang Islam. Beberapa waktu lalu, warga Belgia mengalami peristiwa pengeboman. Melalui film yang memiliki kaitan dengan Islam, mereka dapat memahami konteks Islam yang bukan dari Arab tetapi dari negara berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia.
Film-film bernuansa Islam yang diputar di Vendome Cinema di antaranya, Mencari Hilal, yang mengisahkan perbedaan pandangan seorang ayah yang dianggap konservatif dengan anaknya bersikap liberal; 3 Doa 3 Cinta yang mengisahkan kehidupan sejumlah remaja yang menimba ilmu di pesantren. Ada juga, kata Nan, Laskar Pelangi yang memiliki kaitan dengan Islam.
Nan mengungkapkan, selepas pemutaran film para penonton Belgia mendapatkan perspektif berbeda tentang Islam. Mereka yang selama ini mengetahui Islam hanya dari Arab, kemudian mengetahui bahwa Islam itu bukan sekadar Arab. Mereka jadi tahu, jelas Nan, Indonesia yang merupakan negara Islam, umat Islamnya mempunyai sikap dan pandangan beragama yang beragam.
Muslim di Indonesia, ada yang mengenakan jilbab ada pula yang tak mengenakannya. Saat ditanya apakah para penonton mempunyai term khusus mengenai Islam seusai menonton, Nan menjelaskan, mereka ada yang tidak tahu mengenai Islam. Mereka hanya tahu aksi kekerasan yang pernah terjadi dilakukan pemeluk Islam, namun kemudian mereka sadar Islam itu beragam.
Restorasi Saur Sepuh
Terkait pemutaran Saur Sepuh: Satria Madangkara, COO 13 Entertainment Lavesh Samtani mengatakan, sebelum dibawa ke Brussels, Saur Sepuh direstorasi dulu. Film produksi PT Kanta Indah Film ini hingga 2012 tersimpan di Mandarin Lab, Hong Kong. Berada lama di sana memang karena pengerjaan pascaproduksi film aksi ini berlangsung di sana.
Singkat cerita, 13 Entertaiment membeli hak cipta film itu dari Kanta. Selama 2012 hingga 2017, film ini berada di gudang 13 Entertainment di Fatmawati, Jakarta Selatan. Baru sekitar Agustus atau September, jelas Lavesh, restorasi dilakukan. ‘’Kisaran biaya yang kami keluarkan Rp 500 juta,’’ kata Lavesh selepas pemutaran Saur Sepuh.
Lavesh menjelaskan bagaimana restorasi dilakukan. Menurut dia, bermula dari seluloid, dibersihkan dulu kemudian direparasi secara fisik.
Selanjutnya, discan menggunakan frame by frame ke kualitas 2k yang lebih baik dari HD (high definition). Dari sana, baru dibersihkan secara digital. Kalau zaman sekarang, kata dia, itu semacam Photoshop. Pada saat sama, audio di film juga direparasi.
Hal yang dialami saat restorasi, waktu scan negatifnya atau materi film aslinya, banyak yang tidak ada, terpotong-potong ternyata dipakai lagi untuk film Saur Sepuh episode keempat atau kelima.
’’Jadi, negatifnya disalin untuk film berikutnya.’’ Lavesh melanjutkan, kemudian negatifnya ditempel dengan materi positifnya atau materi film yang ditayangkan di bioskop.
Fase yang paling sulit adalah bagaimana kedua bagian itu ditaruh pada titik yang sama dan secara kualitas gambar, tidak terlalu belang. ‘’Kami harus berusaha jangan sampai orang nanti yang menonton, film itu terlihat melompat. Kami harus membuatnya komplet dari awal sampai akhir, bayangkan kalau ada scene yang hilang,’’ ujar Lavesh.
Restorasi ini, menurut Lavesh, berfungsi pula untuk edukasi baik untuk para pembuat film maupun penonton. Ini menjadi rujukan. Bayangkan, selepas pemutaran ada yang berkomentar, baru tahu ada film semacam Saur Sepuh di Indonesia. Ada pula pria di Indonesia segagah seperti yang ada di film aksi tersebut.
Peggy Fol, pemilik Cinema Vendome, menyatakan, bioskop yang dioperasikan keluarganya, selama ini memang banyak juga memutar film dalam ajang festival. Penonton di bioskop yang beroperasi 65 tahun itu, menikmati film-film yang mempunyai tema kemanusiaan, ekologi, dan perubahan iklim. Meski ruang bioskop lebih kecil dibandingkan bioskop XXI seperti di Indonesia, banyak yang masih pergi ke sana.
Menurut dia, di bioskopnya, penonton tak hanya datang, membeli pop corn di kafetaria dan masuk ke ruangan untuk menonton film, lalu pulang. Di Cinema Vendome, jelas dia, penonton menikmati film kemudian saling berinteraksi membahas berbagai hal.