REPUBLIKA.CO.ID, Sejauh mata memandang dari pesawat, seolah melihat lukisan di atas kanvas berupa daratan yang dipenuhi hijau pepohonan yang dibelah sungai yang berkelok-kelok. Keindahan lain terlihat, ketika Antara menginjak kaki di Ibu Kota Kabupaten Asmat, Agats, langsung disuguhi pemandangan yang tidak pernah ada di kota lainnya di wilayah Indonesia.
Rumah, pasar, kantor, jalan yang semuanya dibangun di atas panggung. Di sana tidak ditemukan jalan beraspal seperti kota-kota lainnya, tapi berupa jalan papan kayu dan ada yang sudah berbeton yang di atas panggung dan lebarnya tidak lebih dari tiga meter.
Tidak ada mobil dan angkutan lainnya, hanya-hanya motor-motor listrik yang menjadi alat transportasi warga serta perahu yang menghubungkan antarwilayah. Namun dibalik keindahan itu semua, ada kejadian luar biasa yang mengoyak itu semua, dimana ratusan warga terserang penyakit campak dan gizi buruk.
Pastur Hendrik Huda, yang mendampingi Tim Kantor Staf Presiden (KSP) mengungkapkan wilayah di Kabupaten Asmat hampir 90 persen tertututup air dan semua warganya yang tersebar di 23 distrik (kecamatan) ini hidup di pinggir sungai. "Sebagian besar mereka hidup dan makan dari alam, yakni mencari ikan dan sagu. Bahkan mereka sering meninggalkan rumahnya dengan perahu dayung bersama keluarganya menyusuri sungai dan membuat kubuk kecil untuk tinggal untuk mencari makan. Pola hidup ini yang membuat mereka jauh mendapatkan gizi yang baik," katanya.
Bupati Asmat Elisa Kambu mengakui, bahwa sejak September 2017 Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat mencatat adanya serangan penyakit campak. Namun baru akhir Desember, yakni 23 Desember, mendapat laporan dari Uskup Keuskupan Agats Mgr Aloysius Murwito adanya balita meninggal di Kampung As, Distrik Pulau Tiga meninggal akibat penyakit tersebut.
"Saya juga menemukan sendiri ada balita yang meninggal dan belasan anak terserang penyakit campak dan gizi buruk di Kampung As dan Atat. Dan ketika itu langsung memerintahkan kepala Dinkes untuk menanggulanginya," kata Kambu saat rapat koordinasi dengan tim dari KSP, tim Kementerian Kesehatan, tim Kementerian Sosial, tim Provinsi Papua, TNI dan Polda Papua, Rabu (16/1).
Bupati Asmat ini mengakui, timnya mulai bekerja pada 1 Januari dan pada 11 Januari dilaporkan telah merawat ratusan pasien yang terkena penyakit campak, dimana 393 orang di antaranya menjalani rawat jalan dan 175 orang diantaranya terpaksa harus menjalani rawat inap. Kata dia, ada kendala yang terjadi saat menangani KLB ini, minimnya tenaga dokter yang ada, yakni ada 12 dokter dan satu dokter spesial di Asmat.
"Bahkan dari 16 puskemas yang tersebar, hanya tujuh yang ada dokternya serta minimnya peralatan kesehatan dan jarak yang berjauhan yang mengakibatkan banyaknya korban," ujar Kambu.
Dengan datangnya bantuan dari Mabes TNI, Polda Papua dan Kemenkes, Bupati Asmat berharap KLB ini bisa tertangani secara cepat. Bupati mengungkapkan, pada tim Mabes TNI pertama datang ke Asmat dan disusul dari yang lain tim lainnya dan berbagai bantuan dari luar telah tiba.
"Namun keterbatasan fasilitas yang dimiliki di Asmat menjadi tantangan sendiri dengan banyaknya tim yang datang ke sini," aku Kambu.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden Sylvana Maria Apituley mengatakan Presiden Joko Widodo langsung memerintahkan Kementerian Kesehatan dan kementerian terkait agar memberikan tindakan yang diperlukan atas kejadian KLB ini.
Sylvana mengatakan, kehadiran mereka ini semua untuk menegaskan bahwa negara hadir di saat masyarakat Asmat menghadapi kejadian luar biasa penyakit campak dan gizi buruk ini. "Melihat itu, Presiden ingin agar menanggani dan mengambil tindakan untuk melakukan secara bersama-sama. Tidak hanya Kementerian Kesehatan saja tapi kementerian terkait lainnya," kata dia.
Sylvana mengakui, KSP memiliki tugas khusus dalam penanggulangan KLB ini, yakni untuk memonitor sejauh mana yang dilakukan kementerian teknis sudah berjalan efektif di lapangan bersama dengan pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya.
Dia melihat secara langsung penanggulangan KLB campak dan gizi buruk di Asmat ini dan mencari akar masalah yang harus dicarikan jalan keluar. Dalam kesempatan ini, mantan komisioner Komnas HAM ini mengakui kelambatan penanganan perintah daerah dalam menangani kasus ini yang sudah sejak September 2017 namun baru ada tindakan pada awal 2018.
Sylvana mengatakan, dalam membangun masyarakat Papua agar semua kepala daerah mendengarkan suara rakyat dan sering turun ke lapangan serta bekerja untuk membikin perubahan.
Bupati Asmat mengakui adanya kesalahan dari stafnya yang tidak tanggap dan menanggani kasus KLB ini secara cepat. Namun, dia juga mengungkapkan, budaya masyarakat Asmat yang masih kurang informasi terhadap kesehatan juga menjadikan kesulitan tersendiri dalam upaya pencegahan KLB ini.
Kambu mengakui, para korban yang penyakit campak ini diakui karena banyak masyarakatnya takut dimunisasi. "Saat imunisasi pertama dilakukan badan anaknya panas, pada imunisasi kedua mengajak keluarganya pergi ke hutan dan tidak mau dimunisasi," katanya.
Kambu juga mengakui, jarak antar wilayah yang sulit dijangkau dan minimnya tenaga medis juga menjadi kendala dalam penaganan pelayanan kesehatan masyarakatnya. Tim KSP yang turun ke lapangan ke Kampung AS, yang korban meninggalnya terbanyak kedua, harus menempuh waktu dua jam lebih dengan menggunakan perahu cepat (speed boat) menyusuri sungai, karena tidak ada angkutan alternatif lain.
Sesampai di tempat tujuan, berbagai keluhan warga, dari tidak adanya dokter dan tenaga medis lainnya, obat-obatan hingga transportasi yang menyebabkan banyak korban.
"Di daerah itu ada Pustu (Puskesmas Pembantu). Ada bangunannya, tapi tidak ada petugasnya. Ada hanya petugas dari warga yang hanya membantu, tidak sekolah dan menolong jika ada yang sakit," kata Ius User, seorang warga Kampung As.
Tenaga Ahli Utama KSP Bimo Wijayanto, saat menemui warga, terkejut dengan kondisi ini dan tidak terbayang sebelumnya. Bimo berjanji akan menyampaikan keluhan yang ada dan kepada pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menanggani kasus ini.
"Saya akan membawa keluhan bapak ibu semua, semoga nanti ada jalan yang bisa membuat masyarakat di sini lebih baik," janjinya.
Peran ORARI
Luasnya wilayah Kabupaten Asmat dan minimnya pembangunan infrastruktur di wilayah selatan Provinsi Papua ini juga menjadi kendala tersendiri dalam komunikasi antar warga. Jaringan telepon seluler hanya ada di Kota Agats dan Distrik Atsj, dan itu hanya dengan sinyal yang kadang ada, kadang tidak ada.
Di sinilah peran ORARI (Organisasi Amatir Radio Indonesia) dalam memberikan informasi warga Kabupaten Asmat. "Anggota kami ada hampir di seluruh wilayah Asmat, dan ini jadi alat komunikasi yang ada di Asmat saat ini," kata Dewan Pembina ORARI Asmat Pastur Eko Budi Setiawan.
Dia mencontohkan, peran ORARI dalam penangganan KLB penyakit campak dan gizi buruk ini ketika Bupati Kambu menemukan warga yang meninggal di Kampung As dan Atat langsung menggunakan ORARI untuk memerintahkan Kepala Dinas Kesehatan untuk membuat tim penanggulan.
Eko menyebutkan, ORARI juga memberikan informasi kepada tim penanggulangan KLB ini tentang kondisi air sungai, apakah sedang surut atau tidak, sehingga perahu yang ditumpangi bisa bisa membawa mereka ke tempat tujuan.