Senin 22 Jan 2018 10:43 WIB

Pejabat PBB: Kamp Rohingya Berisiko Mengalami Kemerosotan

Dengan datangnya musim hujan di Bangladesh maka kamp-kamp penuh sesak.

Pengungsi Rohingnya.
Foto: aljazeera.com
Pengungsi Rohingnya.

REPUBLIKA.CO.ID --  Kondisi kemanusiaan di kamp-kamp yang menampung pengungsi Rohingya di Bangladesh akan semakin memburuk dalam beberapa bulan ke depan. Hal ini dikatakan seorang penyelidik hak asasi manusia kepada Al Jazeera, sekaligus juga mengemukakan kekhawatiran tentang sebuah rencana untuk mengembalikan minoritas yang melarikan diri ke Myanmar.

Dalam sebuah wawancara dari kamp pengungsi Balukhali di Cox's Bazar, Yanghee Lee, seorang pelapor khusus PBB yang dilarang mengunjungi Myanmar mengatakan, dengan datangnya musim hujan di Bangladesh maka kamp-kamp penuh sesak. “Kita akan menyaksikan tanah longsor dan kita dapat melihat sejumlah besar korban jiwa.” ujarnya.

Lee juga memperingatkan kemungkinan "wabah penyakit" yang akan menyebar karena curah hujan yang deras, yang mungkin terjadi . Utusan PBB tersebut akan mengunjungi Myanmar pada bulan Januari untuk menilai keadaan hak asasi manusia di seluruh negeri, termasuk di negara bagian Rakhine, di mana sebuah tindakan militer brutal telah mengirim lebih dari 650.000 minoritas Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.

Orang-orang yang melarikan diri dari kekerasan telah menceritakan sebuah kampanye sistematis pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran. PBB telah menggambarkan situasinya sebagai ‘contoh buku teks tentang pembersihan etnis’.

Lee mengambil peran pemantauan hak pada tahun 2014, dan diharuskan mengunjungi Myanmar dua kali setahun untuk melapor ke Dewan Hak Asasi Manusia dan Majelis Umum PBB. Dia dilarang bulan lalu melakukan penyelidikan.

'Bukan  manusia'

Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Lee mendesak masyarakat internasional untuk membantu penyebaran kamp-kamp yang penuh sesak di Bangladesh. "Konsentrasi orang ... itu tidak manusiawi,” katanya.

Sebagai bagian dari kesepakatan repatriasi yang ditandatangani oleh dua tetangga Asia pada bulan November tahun lalu. Pejabat Bangladesh dan Myanmar sepakat minggu lalu mengenai rencana untuk memfasilitasi kembalinya para pengngungsi dalam dua tahun ke depan

Kini sebanyak 1.550 pengungsi akan dikirim kembali setiap minggu. Dan ini akan bertambah menjadi sekitar 156.000 selama periode dua tahun.

Namun, Lee mengatakan, situasi di Myanmar tidak kondusif bagi pengungsi untuk kembali. "Pertama-tama, ke mana mereka akan kembali? Mereka telah kehilangan mata pencaharian mereka, mereka telah kehilangan hasil panen mereka, mereka telah kehilangan ladang mereka," katanya kepada Al Jazeera.

"Semua beras sekarang dilaporkan dijual ke tempat lain ke negara lain. Mereka telah kehilangan rumah mereka. Jadi proses pembangunan kembali akan menjadi persoalan ,besar, dan masyarakat tidak boleh hidup dalam situasi seperti kamp lainnya,’’ tegas Lee.

Dia juga mendesak agar kembalinya pengungsi ke rumah mereka sepenuhnya sukarela. Selain itu, dia  menekankan, adanya pengumpulan informasi  sehingga mereka akan tahu persis apa yang akan mereka lakukan kembali.

Krisis Rohingya saat ini dimulai pada bulan Agustus, ketika tentara Myanmar melancarkan tindakan keras berdarah dalam menanggapi serangan terhadap pos-pos perbatasan oleh kelompok bersenjata tersebut, Arakan Rohingya Salvation Army.

Sebagian besar minoritas Muslim, yang tinggal terutama di Negara Bagian Rakhine, tidak diakui sebagai kelompok etnis di Myanmar, meskipun telah tinggal di sana selama beberapa generasi. Mereka telah ditolak kewarganegaraan dan dianggap tidak memiliki kewarganegaraan.

sumber : aljazeera.com
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement