REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan penggunaan mata uang virtual (cryptocurrency) sebagai alat transaksi hingga saat ini tidak memiliki landasan formal. Melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa (23/1), Kemenkeu mendukung kebijakan Bank Indonesia selaku otoritas moneter dan sistem pembayaran untuk tidak mengakui mata uang virtual sebagai alat pembayaran yang sah.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Kemenkeu, Nufransa Wira Sakti, mengatakan hal tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam peraturan tersebut ditegaskan mengenai kewajiban penggunaan mata uang rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang.
Selain itu, mata uang virtual rawan digunakan untuk transaksi ilegal, pencucian uang, dan pendanaan terorisme mengingat belum adanya otoritas yang mengatur dan mengawasi. "Kondisi transaksi semacam itu dapat merugikan masyarakat karena membuka peluang terhadap tindak penipuan dan kejahatan dalam berbagai bentuk," kata Nufransa.
Transaksi mata uang virtual yang spekulatif juga dapat menimbulkan risiko penggelembungan nilai yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Oleh karena itu, Kemenkeu akan bekerja sama dengan otoritas keuangan lain untuk mencermati perkembangan penggunaan mata uang virtual berbasis "distributed ledger technology", seperti Bitcoin.
Kemenkeu juga akan mengambil langkah terukur yang diperlukan untuk memitigasi risiko peredaran dan penggunaan mata uang virtual dalam rangka menjaga kepentingan masyarakat serta menjaga kredibilitas dan stabilitas sistem keuangan.