REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan (DK) PBB telah membahas serangan intensif Turki terhadap milisi Kurdi dan krisis kemanusiaan yang memburuk di Suriah pada Senin (22/1). Namun dalam pertemuan itu DK PBB tidak mengeluarkan kecaman atau menuntut diakhirinya operasi militer Turki tersebut.
DK PBB pada awalnya dijadwalkan untuk mendengarkan laporan terbaru dari kepala bantuan PBB Mark Lowcock yang baru-baru ini melakukan kunjungan ke Suriah, atas permintaan Prancis.
Duta Besar Prancis untuk PBB Francois Delattre mengatakan, dewan kemudian memutuskan untuk membahas juga mengenai serangan Turki di Afrin.
"Hal itu tentu saja menjadi bagian dari pembahasan. Seruan untuk menahan diri, saya yakin, secara luas telah disarankan selama pertemuan. Prancis memperhatikan keamanan, wilayah, dan perbatasan Turki," kata Delattre setelah pertemuan tertutup itu selesai dilakukan di markas besar PBB di New York.
Baca juga, Ini Jawaban Assad Atas Operasi Militer di Afrin.
Delattre menambahkan, negara-negara Barat khawatir operasi militer Turki untuk melawan People's Protection Unit (YPG) dapat mengalihkan fokus perlawanan terhadap ISIS. "Sangat penting untuk menjaga kesatuan sekutu dalam mengutamakan prioritas, yaitu perang melawan terorisme dan melawan ISIS pada khususnya," kata Delattre.
Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley tidak menghadiri pertemuan tersebut secara langsung. Operasi Olive Branch yang dilakukan Turki di Suriah dinilai sangat sensitif karena Washington telah mengandalkan YPG untuk mengusir militan ISIS dari Suriah.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersumpah tidak akan melangkah mundur untuk mengusir milisi YPG dari daerah Afrin, meskipun ada kekhawatiran dari sekutu dan negara-negara tetangganya.
Dilansir di Arab News, Turki menganggap YPG sebagai kelompok teror dan cabang dari Kurdistan Workers Party (PKK) yang telah melakukan pemberontakan selama tiga dekade di negara tersebut.