REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengancam akan memperpanjang operasi militer ke Kota Manbij di kawasan Timur Aleppo, Suriah. Turki berpendapat, kota itu juga merupakan wilayah yang dikuasai kelompok Kurdi dan mendapat bantuan Amerika Serikat (AS).
Aljazirah pada Kamis (25/1) melaporkan, Erdogan berniat segera mengakhiri permasalahan yang ada di perbatasan yang dimulai dari Kota Manbij. Dia mengatakan, langkah itu selanjutnya akan membebaskan Turki dari masalah sepenuhnya.
Otoritas Turki hingga saat ini telah mengambil sejumlah pos kelompok Kurdi di Suriah. Militer juga membuat zona aman di wilayah-wilayah yang telah direbut itu.
Salah satu kota yang digempur adalah Afrin. Pemerintah Turki mengklaim keberadaan kelompok Kurdi di kawasan tersebut mengancam keamanan dalam negeri mereka.
Militer Turki mengaku telah menewaskan 260 militan Kurdi dan pasukan negara Islam Irak Suriah (ISIS) di kawasan itu. Namun angka ini segera dibantah oleh pemimpin kelompok Kurdi yang menyebut jika jumlah tersebut terlalu dilebih-lebihkan.
Partai Persatuan Demokrasi Kurdi (PYD) dan sayap mikiter mereka People's Protection Units (YPG) merupakan kelompok yang memberikan perlawanan terhadap militer Turki di Afrin. Meski demikian, mereka menolak mendapat campur tangan ISIS dalam perang tersebut.
AS melihat YPG merupakan militan yang efektif untuk melawan ISIS dari baris depan. Sebaliknya, Ankara melihat pasukan tersebut sebagai kelompok teroris yang telah menebar perang dengan Turki dalam tiga tahun belakangan.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan, Presiden Erdogan dan Donald Trump telah melakukan pembicaraan pada Rabu (24/1) kemarin. Kedua kepala negara itu akan melakukan perbincangan guna membahas situasi di Afrin.
Sementara, pernyataan dari gedung putih mendesak Turki untuk membatasi operasi militer mereka. AS memperingatkan jika operasi militer mereka berpotensi terlibat konflikn dengan militer Paman Sam di kawasan tersebut.
Gedung Putih juga mendesak Erdogan untuk mengurangi, membatasi operasi militernya guna menghindari korban sipil. "Operasi mikiter tersebut juga beresiko menimbulkan konflik antara pasukan Turki dan Amerika," kata pernyataan Gedung Putih seperti dikutip Guardian.