REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah harus tegas menegakkan hukum bila ada isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019. Ini harus dilakukan karena belajar dari Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, Bangsa Indonesia hampir terpecah belah akibat kasus penistaan agama yang dilakukan oleh salah satu calon gubernur.
Kondisi ini sangat disadari oleh pengajar Program Pascasarjana Kajian ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Prof Dr Bambang Widodo Umar. Menurutnya, secara umum demokrasi di Indonesia belum berjalan dengan baik. Buktinya Pilkada atau Pilpres saat ini cenderung masih menonjol sebagai ajang perebutan kekuasaan bukan ajang adu ide dan program pembangunan. Alhasil berbagai cara dilakukan oleh masing-masing kelompok untuk meraih kemenangan tanpa memikirkan dampak sosial kemasyarakatan yang timbul.
“Sebagai negara yang berideologi Pancasila dan memiliki Bhinneka Tunggal Ika seharusnya para penyelenggara negara (pemerintah) mampu menekan pelaksana atau peserta (parpol) agar Pilkada berjalan sesuai aturan yang berlaku dan telah disepakati untuk tidak melakukan cara-cara kotor,” ujar Bambang di Jakarta, Selasa (23/1).
Karena itu, lanjut Bambang, tindakan tegas dari penyelenggara Pilkada harus diwujudkan dengan tidak memberikan kebijakan terhadap siapapun peserta yang menyimpang dari aturan. Menurutnya, isu SARA menjadi momok paling berbahaya dalam memelihara keutuhan NKRI. Apalagi sekarang banyak kelompok yang memanfaatkan kecanggihan media sosial untuk menyebar propaganda di dunia maya, baik berupa narasi kekerasan, ujaran kebencian, maupun hoax.
“Menurut saya gejolak masyarakat yang beberapa waktu lalu sempat naik tensinya akibat masih belum terwujudnya harapan besar bangsa ini yang dari dulu sampai kini belum terwujud yaitu tatanan kehidupan bangsa dan negara yang harmoni sesuai karakteristik sosial, politik, hukum, dan ekonomi Indonesia,” ungkap pria yang juga pensiunan polisi ini.
Ia melanjutkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, terutama internet (dunia maya) merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari. Namun, sayang itu belum dimanfaatkan secara benar, bahkan ada sebagian orang yang menjadikan itu peluang yang mengarah terjadinya kontradiksi.
Menurutnya, hal itu bukan karena sistemnya salah, tetapi memang ada pihak yang sengaja menyalahgunakan dunia maya untuk kepentingan kelompok tertentu yang sejauh ini belum ditindak secara tegas dan obyektif. Alhasil celah itu terus dimanfaatkan untuk melakukan propaganda negatif di dunia maya, terutama yang menyangkut isu SARA.
Untuk itu, Bambang mengimbau agar masyarakat memiliki kekebalan dari propaganda atau kampanye hitam dalam Pilkada Serentak nanti. Salah satu caranya adalan memberi kepercayaan kepada para pimpinan non formal di masyarakat seperti tokoh masyarakat, ketua adat, dan lain-lain untuk memperkuat nilai-nilai dan tradisi kepada warganya agar menjaga keharmonisan dan kedamaian, disamping terus memelihara dan merawat nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.