REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua DPR Setya Novanto merasa menjadi 'anak kos' setelah mendekam di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia mengaku makan yang sama dengan tahanan lainnya.
"Tadi makan supermie, sekarang kan jadi anak kos, sekarang rakyat jelata, makannya sama-sama," kata Setnov menjelang sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (25/1).
(Baca: SBY Disebut dalam Sidang KTP, Ini Kata Pengacara Setnov)
Setnov sudah lebih dari sebulan menghuni rumah tahanan KPK. Ia ditahan sejak 17 November 2017 karena menjadi tersangka kasus korupsi KTP elektronik. "Saya turun (berat badan) dua kilogram, ya namanya anak kos," ungkap Setnov.
Menurut Setnov, selain makanan yang disajikan di rutan KPK, ia juga makan makanan kiriman dari keluarga. "Menunya ya ganti-ganti, tapi kita biasa dapat dari kiriman keluarga kita, lalu saling 'sharing' satu sama lain, sama-sama susah kan," tambah Setnov.
Ia juga merasa rindu dengan keberadaan istrinya Deisty Astriani Tagor yang selalu setia hadir dalam persidangannya pada Senin dan Kamis. "Ada tuh (Deisty) datang barusan, ya idaman kita semua kan bisa bareng, tapi keadaan kita harus sadari semuanya lah," ucap Setnov.
Setnov juga mengaku punya sejumlah tugas selama di rutan. "Sekarang kita berbagi (tugas) 'ngepel', 'nyapu', 'nyuci' piring, saya bagian cuci piring saja lah," ungkap Setnov.
Bahkan Setnov sempat menceritakan gempa pada Selasa (23/1) dengan kekuatan 6,1 SR. "Iya berasa gempa, kaget lah, saya pikir saya pusing, penyidiknya yang keluar, kita sih tinggal berdoa saja lah ya," cerita Setnov.
Dalam perkara ini Setnov diduga menerima 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-el. Setya Novanto menerima uang tersebut melalui mantan direktur PT Murakabi sekaligus keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo maupun rekan Setnov dan juga pemilik OEM Investmen Pte.LTd dan Delta Energy Pte.Lte yang berada di Singapura Made Oka Masagung.
Sedangkan jam tangan diterima Setnov dari pengusaha Andi Agustinus dan direktur PT Biomorf Lone Indonesia Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena Setnov telah membantu memperlancar proses penganggaran. Total kerugian negara akibat proyek tersebut mencapai Rp 2,3 triliun.