REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo menilai, tingginya biaya politik menjadi salah satu penyebab demokrasi Indonesia prosedural dan transaksional. Karena, untuk menjadi seorang bupati saja, seorang calon harus mengeluarkan uang hingga puluhan miliar rupiah.
"Bayangkan saja menjadi bupati perlu sekian puluh miliar, dan menjadi gubernur perlu sekian ratus miliar," ujar Agus saat dikonfirmasi, Kamis (25/1).
Akibat adanya mahar politik tersebut, menurut Agus, anak bangsa yang berkompeten dan berintegritas menjadi seorang pemimpin, sering tersisih. "Hari ini keadilan dalam demokrasi juga belum kita dapatkan. Seseorang yang sangat kompeten dan sangat berintegritas, namun tidak punya uang, akan sangat sulit menjadi pejabat publik seperti bupati, wali kota, atau gubernur. Mengingat biaya yang sangat besar tadi," kata Agus.
Sering pula para calon kepala daerah mencari sumber dana ke pengusaha atau pihak swasta lainnya. Sehingga, saat terpilih, kepala daerah itu pun akan berusaha keras mengembalikan pinjaman uang tersebut dengan berbagai cara.
Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah pun mengingatkan kepada para calon kepala daerah tidak melakukan praktik politik uang. Apalagi, jika sumber dana dari hasil korupsi atau dari pihak-pihak yang nanti harus diganti dalam bentuk proyek-proyek saat setelah menjabat karena akan menjadi suap dan gratifikasi.
"Karena jika menerima sumbangam dana politik di luar mekanisme yang sudah diatur maka dapat berisiko menjadi gratifikasi atau suap. Sedangkan untuk calon incumbent agar tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki saat ini dan perlu lebih berhati-hati dengan sumbangan dan dana politik," tutur Febri.