REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Bandung, Muradi, menilai penetapan perwira Polri menjadi penjabat gubernur sangat memungkinkan. Hal ini untuk dilakukan dengan pertimbangan strategis termasuk juga dengan berkaca pada pengangkatan penjabat dari unsur Polri dan TNI pada 2015 lalu.
"Pertimbangan strategis tersebut, pertama untuk mencegah kemungkinan konflik dari pelaksanaan Pilkada," kata Muradi, Jumat (26/1).
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi dan respons yang lebih efektif dan baik dalam memosisikan potensi konflik tersebut menjadi tidak terjadi atau untuk meminimalisir. Kedua, penegasan netral dalam pelaksanaan Pilkada, yang mana potensi adanya ketidaknetralan akan mengganggu kualitas pelaksanaan Pilkada.
Muradi menjelaskan, di Sumatera Utara dan Jabar terdapat calon kepala daerah baik dari unsur TNI dan Polri. Maka, perlu penegasan dari penjabat gubernur untuk tetap menjaga jarak dan membuat pelayanan ke warga tidak terganggu.
Pertimbangan strategis ketiga, papar Muradi, adalah untuk penekanan bahwa Kemendagri ingin memastikan bahwa pelaksanaan Pilkada harus menjadi ajang untuk melakukan kontrak baru antara publik dengan para kandidat dalam suasana yang tanpa paksaan.
Menurut Muradi, Kemendagri menilai suasana tanpa paksaan itu sulit dilakukan jika penjabatnya berasal dari unsur sipil Kemendagri, karena upaya tersebut harus dilakukan dalam perspektif lain.
Terlebih, berkaca pada Pilkada 2015, keberadaan penjabat Gubernur di Aceh dan Sulbar relatif berjalan dengan baik. Ketika itu penjabat Gubernurnya berasal dari TNI dan Polri. Dalam kondisi tertentu dan berdasarkan pertimbangan strategis, hal itu dimungkinkan.
"Pada Pilkada 2018 ini juga memiliki pertimbangan yang kurang lebih sama," papar dia.