REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang, Jawa Timur, Prof Dr Imam Suprayogo yang juga dikenal sebagai pengamat sosial, di antara aspek budaya yang paling sulit berubah adalah agama atau religi. Bentuk rumah, cara berpakaian, cara jual beli, tanam-menanam dan lain sebagainya, mudah berubah dan bahkan selalu berubah.
Tidak demikian dengan agama. Perubahan agama sangat sulit. Karena itu, dalam ajaran kenabian, tidak banyak nabi yang berhasil semasa hidupnya. Ajarannya baru berkembang setelah nabi yang bersangkutan wafat, diteruskan oleh umatnya dalam waktu yang lama. Hal itu karena perubahan dalam keyakinan itu sangat sulit dan lama.
Islam di Indonesia sedemikian cepat berkembang oleh karena dikembangkan secara tepat, yaitu lewat akulturasi. Perubahan dilakukan tanpa secara radikal mengubah kepercayaan sebelumnya. Itulah yang dilakukan para Wali Songo di Jawa. Hasilnya, wajah Islam tidak terlalu murni, tapi cepat meluas dan kokoh sekali. Hal itu terjadi karena budaya asli tidak tercerabut dan bahkan menyokong pertumbuhan Islam.
Dengan demikian, akulturasi terasa lebih tepat oleh karena tidak ada yang merasa dikalahkan. Tidak ada yang merasa menang dan tidak ada yang merasa kalah. Dari cara itu, Indonesia menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Inilah salah satu yang harus disyukuri dari proses akulturasi.
Contoh itu, kata Prof Imam, banyak sekali. Seperti, seni wayang kulit di Jawa. Cerita yang diangkat dalam pewayangan diambil dari budaya Jawa. Tapi, oleh Sunan Kalijaga digunakan untuk mengenalkan Islam. Di sana, misalnya, ada Jamus Kalimosodo atau rukun Islam. Sunan mengenalkan Islam lewat pewayangan itu. Akhirnya, mudah diterima oleh masyarakat.
Selain itu, banyak gending Jawa yang isinya sebenarnya adalah mengenalkan ajaran Islam. Gending dimaksud misalnya Blimbing Kuwi.
Juga tentang pakaian. Muslim Jawa dulu tetap berpakaian Jawa, tidak pakai gamis seperti sekarang. Atau pakai peci haji segala. Dan, masih banyak contoh lainnya.
Akulturasi seperti itu ia temukan pula ketika menyaksikan perkembangan Islam di Tual, Maluku. Dalam berdakwah yang dilakukan dengan arif sebenarnya telah diketahui banyak orang. Dakwah seharusnya memang begitu. Orang biasanya tidak selalu mau digurui, disalahkan, disinggung perasaannya, apalagi diolok-olok. Kesalahan yang dilakukan seseorang sekecil apa pun, yang bersangkutan tidak mau diungkapkan, apalagi di depan orang banyak.
Memang maksud berdakwah adalah ingin memberikan pengetahuan baru sebagai cara untuk mengubah perilaku, kebiasaan, dan juga keyakinan. Tapi, berdakwah tidaklah selalu mudah membawa hasil. Orang pada umumnya menginginkan perubahan. Dan, perubahan itu dapat diraih mana kala ada kesediaan untuk menerima informasi, pengetahuan baru, nasihat, dan sejenisnya. Namun pada kenyataannya, belum tentu orang mau diberi informasi, apalagi digurui atau diajari. Itulah sebabnya dalam berdakwah perlu kearifan.
Ketika datang ke Tual, Maluku, Imam mendapatkan pengalaman menarik tentang dakwah yang dilakukan seorang pimpinan Muhammadiyah. Dia menjelaskan, dakwahnya dilakukan dengan cara bertahap dan tanpa menyalahkan apa yang dilakukan masyarakat sebelumnya. Dia memberikan pengakuan, penghargaan, dan berusaha tidak menyinggung perasaan siapa pun. Dai Muhammadiyah ini paham bahwa siapa pun tidak mau dianggap salah apalagi bodoh.
Dalam hal pelaksanaan shalat tarawih, misalnya, dia mengakui sejak zaman sahabat dulu bilangan rakaatnya ada 20. Karena itu, tatkala para ulama di daerah ini membimbing umatnya menjalankan tarawih sebanyak 20 rakaat, tidak dianggap keliru. Namun, dai Muhammadiyah ini usul, dengan alasan banyak jamaah yang berusia lanjut, dan juga anak-anak yang masih dalam taraf pelatihan, jumlah rakaat dalam tarawih diusulkan hanya delapan rakaat. Dikatakan, Nabi menurut Aisyah, pernah shalat sampai semalaman hingga kakinya bengkak. Tapi, juga pernah shalat tarawih hanya delapan rakaat.
Melalui penjelasan yang simpatik dan bahkan juga dibarengi dengan empati seperti itu, ternyata masyarakat menerimanya. Tapi, sekalipun tarawihnya hanya delapan rakaat, bacaan shalawat di antara salam setiap dua rakaat masih dilakukan. Demikian pula doa qunut, wiridan, dan juga berdoa bersama tetap dipertahankan. Rupanya pengenalan terhadap paham Muhammadiyah yang dilakukan secara bertahap dan tanpa ada pihak yang merasa diabaikan, bisa diterima dengan baik tanpa menimbulkan gejolak.
Mendengar penjelasan itu, Imam merasa mendapatkan pengalaman baru. Dengan pendekatan itu maka masyarakat tetap bersatu. Bahkan rupanya, identitas lama juga tidak terganggu. Masyarakat kemudian bisa menerimanya. Andaikan cara-cara seperti itu dilakukan pada tataran yang lebih luas maka gesekan-gesekan antarkelompok umat Islam bisa dieliminasi sehingga persatuan umat akan terpelihara. Itulah pentingnya kearifan dalam berdakwah.