REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menegaskan kembali adanya deregulasi telah mencatatkan hasil positif bagi sektor ketenagalistrikan.
Selain memikat para investor listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT), deregulasi juga berdampak pada peningkatan rasio elektrifikasi. "Deregulasi itu impact-nya harus mempemudah memangkas bisnis proses," kata Arcandra seperti dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Ahad (28/1).
Menurut Arcandra, upaya deregulasi ketenagalistrikan juga menambah gairah iklim investasi di sektor ketenagalistrikan. Hal ini ditunjukkan dengan telah ditandatanganinya 70 kontrak jual beli listrik (Power Purcahse Agreement/PPA) berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) sepanjang tahun 2017.
"Tahun lalu (meningkat) empat kali lipat. Ini bukannya akibat deregulasi? PPA-nya lebih simple, sehingga kita introduce up to 1.200 MW EBTKE yang tandatangan //PPA// tahun lalu. Saya pikir itu akibat adanya deregulasi," ujar Arcandra.
Tak hanya itu, Arcandra meyakini penataan ulang peraturan juga telah memberikan kemudahan bagi Pemerintah untuk mencapai target rasio elektrifikasi.
Pada tahun lalu, Pemerintah berhasil melampui rasio elektrifikasi sebesar 95,35 persen dari patokan target sebesar 92,75 persen.
"Selain memangkas bisnis proses, deregulasi itu harus mempercepat usaha-usaha untuk mencapai target Pemerintah dalam menggenjot rasio elektrifikasi. Ini impact-nya ke sana. Kemarin di DPR dihargai," kata Arcandra.
Sebagaimana diketahui, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Kamis (25/1) lalu, upaya Pemerintah dalam menggenjot program pemerataan akses energi di seluruh wilayah Indonesia mendapatkan apresiasi.
Beberapa program yang dinilai berhasil sesuai target oleh DPR RI, seperti rasio elektrifikasi yang mencapai 95,35 persen dan kontrak pengembangan kelistrikan yang bersumber pada Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 1.214 MW.
Termasuk juga capaian Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 119% serta Pelaksanaan BBM Satu Harga di 57 titik.