REPUBLIKA.CO.ID Puluhan laki-laki berbaju koko berbondong-bondong menuju Masjid Jami al-Bakri, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sebagian mengenakan sarung, sebagian lagi menggunakan celana panjang. Mereka memakai kopiah dan sebagian terlihat pula menyelempangkan sajadah di pundaknya.
Sedikit turun ke bawah dari masjid, ada dua buah jembatan gantung yang menghubungkan Kota Depok dan Jakarta Selatan. Masing-masing terletak di RT 11 dan RT 12. Sekitar pukul 11.20 WIB, Jumat (26/1), terlihat beberapa laki-laki berbaju koko dan berkopiah melintasi jembatan gantung yang mengeluarkan suara setiap dilewati warga.
Mereka tidak punya pilihan lain. Lokasi jembatan gantung tersebut memang sangat tepat dan dibutuhkan apabila mereka tidak mau berputar terlalu jauh menuju Masjid Jami al-Bakri yang terletak di kawasan RT 12 RW 02 Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Masyarakat di sekitarnya selalu menggunakan masjid tersebut setiap hari untuk beribadah. Setiap Jumat tiba, masjid tersebut pun digunakan untuk ibadah shalat Jumat oleh para laki-laki setempat. Masjid tersebut terletak tidak jauh dari Sungai Ciliwung yang memisahkan dua provinsi, yaitu DKI dan Jawa Barat.
Tidak sedikit masyarakat yang bertempat tinggal di Kota Depok juga ikut shalat di tempat ibadah tersebut, meskipun mereka harus melewati jembatan gantung yang belakangan disebut Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan sebagai jembatan “Indiana Jones”.
Sebutan Jembatan Indiana Jones bukanlah tanpa alasan. Jembatan gantung tersebut memang masih sangat sederhana. Di samping kanan dan kiri jembatan tersebut menggunakan tali tambang untuk penggunanya berpegangan. Sementara bagian bawahnya menggunakan bambu yang di atasnya ditutupi besi seng bekas supaya tidak berlubang.
Selain menggunakan peralatan seadanya, jembatan tersebut juga terlihat tidak lurus dari satu sisi ke sisi lainnya. Apabila dilihat dari sisi Srengseng Sawah ke arah Depok, kedua alas jembatan tersebut terlihat sedikit meliuk, sehingga terasa lebih ekstrem meski dilihat saja.
Tidak hanya digunakan oleh laki-laki yang akan beribadah. Banyak anak kecil juga harus melintasi jembatan tersebut untuk menyebrang. Setiap pagi hari, para siswa-siswi SD Negeri Srengseng Sawah 15 Pagi yang tinggal di Depok harus berjalan melewati jembatan gantung tersebut. Jika hujan, mereka harus lebih berhati-hati karena kondisi jembatan yang licin.
Nurul, asisten rumah tangga yang tinggal di kawasan Depok, yang bekerja di Srengseng Sawah selalu melewati jembatan gantung itu. Kadang, apabila hujan ia terpaksa tidak bekerja karena jembatan menjadi makin licin dan berbahaya. Kadang ia memilih bolos kerja demi menghindari risiko jatuh ke Sungai Ciliwung. “Kalau hujan, saya ngabarin enggak bisa datang. Takut soalnya licin,” kata Nurul.
Dia mengatakan, pernah jatuh terpeleset karena kondisi jembatan yang licin dan bergoyang ketika dilewati. Nurul terpaksa harus melewati jembatan tersebut karena tidak ada jalan lain. Bisa saja ia berputar melewati jalan besar, tapi ia tak memiliki kendaraan pribadi.
Pilihannya harus naik ojek dan itu memberatkannya. Sekali menggunakan ojek harus membayar Rp 15 ribu, total pulang pergi Rp 30 ribu. Apabila harus mengeluarkan Rp 30 ribu hanya untuk ongkos, tentu Nurul lebih memilih untuk menabungkan uangnya.
Namun, Nurul mengungkapkan, kondisi jembatan saat ini sudah lebih baik. Sebelumnya, jembatan tersebut benar-benar beralaskan bambu tanpa ada besi seng di atasnya. Hal itu makin membuat jembatan licin dan aliran sungai terlihat dari celah antarbambu yang ditata.
Cerita serupa diungkapkan Nunung. Ia sudah empat tahun tidak pernah melewati jembatan gantung tersebut. Namun, sebelumnya ia selalu melintasinya apabila akan berangkat bekerja atau menjual baju. “Ya goyang-goyang,” ungkap Nunung, saat ditanya mengenai pengalamannya saat melewati jembatan.
Melewati jembatan goyang dan licin sudah menjadi makanan sehari-hari Nunung. Meskipun terbiasa, tetap saja ia kadang cukup khawatir ketika melewati jembatan gantung. Apalagi, saat ini usianya tidak muda lagi, Nunung tidak pernah melewati jembatan tersebut.
Nunung adalah warga asli Srengseng Sawah. Sejak kelahirannya pada 1962, jembatan itu pun sudah ada dan kerap digunakan warga. Hingga saat ini, Nunung menyebut, jembatan tersebut tidak pernah dibangun ulang. Warga hanya melakukan beberapa perbaikan apabila jembatan terlihat rusak.
“Kalau ada yang bolong, ada yang copot, dibenerin sama warga. Begitu terus, enggak pernah dibangun,” ujar Nunung.
Jembatan tersebut menjadi penopang hidup sebagian besar masyarakat di sekitarnya. Banyak warga yang harus melewati jembatan tersebut untuk mencari penghasilan. Banyak pula anak sekolah yang menggunakan jembatan tersebut untuk berangkat sekolah.
Karena tidak kunjung dijadikan permanen, warga hanya bisa memperbaikinya sendiri. “Suka kasihan banyak anak SD yang lewat situ, jadi dibenerin,” kata Suryati, warga Srengseng Sawah lainnya.
Posisi jembatan RT 11 dan SD Negeri Srengseng Sawah 15 Pagi memang tidak terlalu jauh. Berjalan dari jembatan, cukup menaiki jalan menanjak dan kemudian tepat di depannya akan terlihat sekolah tersebut. Tentu, anak-anak yang bersekolah di tempat tersebut lebih memilih menggunakan jembatan karena lebih dekat.
“Banyak anak sekolahan yang dari Depok sekolah di sini. Kalau lewat jalan besar jauh harus berputar di Kelapa Dua. Jadi, kalau menyeberang sungai lebih dekat. Kan enggak semua punya kendaraan jadi lewat situ. Anak sekolah mah gimana lagi,” ujar Suryati.
Suryati juga merupakan salah satu warga yang kerap menggunakan jembatan gantung tersebut. Meskipun tidak setiap hari, ia juga ikut merasakan bagaimana ekstremnya melewati jembatan yang bergoyang tersebut.
“Saya kalau beli tahu itu di daerah Depok karena tahunya enak, harus lewat situ. Kalau lewat situ, saya suka tutup mata. Takut,” ujar Suryati.
Beberapa waktu lalu, Gubernur Anies mendatangi kedua jembatan gantung tersebut pada Ahad (21/1). Didampingi Kepala Dinas Bina Marga Yusmada Faizal, Lurah Srengseng Sawah Tubagus Mazruri, dan Ketua RW 02 Nedi, Anies menegaskan, jajarannya akan segera memperbaiki jembatan.
“Ini untuk masyarakat juga. Apalagi, di sini sering dipakai untuk lalu lalang,” kata Anies yang juga menjajal jembatan itu.
Segera dibangun
Pantauan di lapangan, saat ini di jembatan gantung RT 12 telah dipasang spanduk bertuliskan “Mohon Doa Restu. Di Sini akan Segera Dibangun Jembatan Gantung Pejalan Kaki oleh PT Wiratman\". PT Wiratman adalah perusahaan yang khusus mendesain dan membangun jembatan.
Hal itu menunjukkan jembatan tersebut akan diperbaiki dalam waktu dekat. Masyarakat pun berharap pembangunan jembatan tersebut segera dilakukan karena mereka sangat membutuhkan jembatan yang lebih aman dan layak dilalui.
Terkait adanya perbaikan jembatan, warga tentu mendukung hal tersebut. Namun, di satu sisi, mereka khawatir tidak memiliki jalan lainnya untuk mobilisasi. Nurul pun mempertanyakan apakah jembatan yang lama akan dihancurkan lebih dahulu ketika dibangun. Dia resah tidak bisa melewati jembatan tersebut dan harus berputar melewati jalan besar yang lebih jauh dan harus menggunakan kendaraan.
“Kalau jembatannya dibangun itu dirubuhin enggak ya? Kalau dirubuhin saya lewat mana ke sini (tempat kerja)? Ya tadi itu kalau naik ojek sehari habis Rp 30 ribu, sebulan habis berapa itu buat ongkos ojek doang?” ujar Nurul bertanya-tanya.
Terkait hal tersebut, Nurul pun berharap dicarikan jalan keluar. Dia harus tetap bekerja, tapi tidak mampu untuk membayar biaya ongkos pulang-pergi apabila harus menggunakan ojek.
“Kalau bisa biaya ojeknya itu dibayarin, kalau dibayarin saya mau,” ujarnya sambil sedikit tertawa.