REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai upaya mengkriminalisasi perilaku lesbian gay biseksual dan transgender (LGBT) melalui Undang-undang boleh saja. Akan tetapi juga harus bertujuan menghindari adanya intimidasi terhadap pemerilaku LGBT.
Sebab diakui Fickar, para pemerilaku tersebut tetap warga negara Indonesia yang memiliki hak hidup sebagai manusia. Hak-hak keperdataan yang melekat pada diri mereka juga harus tetap dihargai.
"Kriminalisasi atau pelarangan dalam UU dimaksudkan untuk tidak menjadi dasar persekusi terhadap mereka (pemerilaku LGBT), karena bagaimana pun mereka adalah warga negara yang mempunyai hak hidup sebagai manusia, artinya hak-hak keperdataan lainnya tetap harus dihargai," tutur dia kepada Republika.co.id, Senin (29/1).
Fickar juga menilai pemidanaan lesbian gay biseksual transgender (LGBT) harus berfokus pada perilaku di ruang publik. Karena itu, pelarangan perilaku LGBT harus menyasar tiga hal. Pertama, perilaku pencabulan baik terhadap sesama jenis yang belum dewasa ataupun yang sudah dewasa.
Kedua, perilaku LGBT itu bersifat pornografi atau dengan kekerasan. Dan ketiga yakni mempublikasikan perilaku tersebut. Pelarangannya lebih pada perilaku pencabulan baik terhadap sesama jenis yang belum dewasa maupun yang sudah dewasa, bersifat pornografi atau dengan kekerasan, dan mempublikasikan perilakunya.
Saat ini DPR melalui Panitia Kerja Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) masih dalam proses perampungan. Fraksi-fraksi tetap mendorong perluasan pasal pemidanaan perilaku seks menyimpang LGBT hingga mencakup sesama dewasa.
Sebab pemidanaan bagi pelaku LGBT sesama dewasa menjadi salah satu poin yang masih ditunda dalam pembahasan RKHUP pada 16 Januari lalu. Pihaknya ingin pidana LGBT dapat diperluas dari sekedar hanya 18 tahun ke bawah dalam pasal pencabulan.
"Tapi ingin diperluas hubungan sesama jenis dewasa," ujar Anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Nasdem Taufiqulhadi saat dikonfirmasi Republika Ahad (28/1) kemarin.