REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF) memperbaiki permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Materi yang diperbaiki terkait peran pengadilan.
"Di sini kami memasukkan atau memperbaiki perihal masalah peran pengadilan yang direduksi oleh UU Ormas," ujar kuasa hukum Pemohon, Mohammad Kamil Pasha, di Gedung MK, Jakarta, Senin (29/1).
Pasha menjelaskan bahwa dalam ketentuan UU Nomor 16 Tahun 2017, asas proses hukum yang adil telah dikesampingkan. "Bahwa ada penyampingan asas proses hukum yang adil dan mereduksi kewenangan atau kekuasaan kehakiman dari lembaga peradilan," katanya.
Menurut dia, hal ini disebabkan karena pembubaran ormas dilakukan tanpa melalui proses pengadilan. Dalam sidang pendahuluan, para pemohon mengatakan bahwa prinsip negara hukum adalah adanya pengakuan hak asasi manusia dan adanya supremasi hukum.
Sementara itu, ketentuan a quo dinilai mengancam hak-hak asasi yang dimiliki oleh para pemohon. Pemohon menilai penjatuhan sanksi terhadap ormas yang diatur dalam ketentuan tersebut telah melanggar hukum karena tidak ada proses hukum sehingga pihak yang dinilai bersalah tidak bisa memberikan pembuktian.
Selain itu, para pemohon mempermasalahkan frasa 'paham lain' dalam ketentuan UU Ormas yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam petitumnya, para pemohon meminta supaya Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 6 sampai dengan 21, kemudian Pasal 62 Ayat (3), Pasal 80A, Pasal 82A Ayat (1) dan Ayat (2) UU No.16 Tahun 2017 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Adapun para pemohon adalah seorang warga negara bernama Munarman, Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Yayasan Forum Silahturahmi Antar Pengajian Indonesia, Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia, dan Perkumpulan Hidayatullah.