REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Puluhan massa yang tergabung dalam sejumlah organinasi pecinta primata menggelar aksi dalam rangka peringatan hari primata nasional, di Halaman Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Selasa (30/1). Aksi damai tersebut mengangkat isu menghentikan pertunjukan doger monyet atau topeng monyet, karena dinilai melanggar kesejahteraan satwa.
Selain diisi dengan orasi, aksi tersebut diramaikan dengan aksi teatrikal pantomim. Aktor, dengan ekspresi sedih, memeragakan diri sebagai monyet yang kebingungan.
Beberapa peserta aksi pun, memakai topeng sambil menunjukan spanduk berisi tuntutan pengembalian hak hewan agar hidup kembali ke habitatnya masing-masing.
Menurut Kordinator aksiyang juga menjabat sebagai Tim edukasi dan sosialisasi dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Sarah Syajaratun, alasan para aktivis mengangkat isu topeng monyet karena kegiatan tersebut sangat melanggar kesejahteraan primata. Biasanya, pemburu menangkap bayi monyet. Dalam prosesnya, induk monyet itu biasanya mati.
"Lalu, monyet itu dilatih dengan dicabut giginya dengan paksa, agar tidak menggigit. Sehingga, gusi mereka kerap rusak," katanya.
Sarah mengatakan, jenis monyet yang digunakan dalam petujunjukan yang biasa dilakukan di perempatan atau lampu merah itu biasanya jenis monyet ekor panjang (Macaca Fascicularis). Jenis itu sangat rentan untuk menularkan penyakit zoonosis, yakni penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia. "Penyakit itu antara lain rabies atau tuberkulosis," katanya.
Sementara menurut Anggota JAAN, Jenipa Saptayanti, pihaknya sudah merehabilitasi 46 monyet ekor panjang selama tiga tahun terakhir. "Paling banyak ada di daerah pinggiran, seperti Tasikmalaya, Ciamis," katanya.
Monyet yang sudah diamankan, kata dia, direhabilitasi di daerah Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Selama masa rehabilitasi, banyak perilaku yang menyimpang dari para monyet. "Mereka (monyet) juga mengalami depresi dan trauma. Ada yang suka melukai diri sendiri, ada yang teriak nggak jelas sambil lari-lari," katanya.
Jenipa menilai, usaha yang selama ini dilakukan, belum maksimal. Karena, terkendala dengan kesadaran masyarakat tentang kesejahteraan satwa yang belum terbangun maksimal.
Bahkan, kata dia, DKI Jakarta sudah melarang keberadaan topeng monyet sejak 2014. Begitu juga, dengan Pemprov Jabar. "Aturan sudah ada, yang masih kurang itu adalah kesadaran masyarakat. Upaya ini harus dilakukan secara bersama-sama," katanya.