Kamis 01 Feb 2018 05:19 WIB

Ketika Badan POM Kebobolan Produk Mengandung Babi Lagi

Produk Viostin DS dan Enzyplex ditemukan Badan POM positif mengandung unsur babi.

Red: Elba Damhuri
Ilustrasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Ilustrasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ali Mansur, Muhammad Nursyamsi

Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) merilis siaran pers tentang viralnya surat internal hasil pengujian sampel suplemen makanan, Selasa (30/1). Surat yang dimaksud adalah surat dari Balai Besar POM di Mataram (Nusa Tenggara Barat) kepada Balai POM di Palangkaraya (Kalimantan Tengah). Hasil uji sampel itu memastikan adanya kandungan babi.

Mengutip siaran pers dari Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, Badan POM menjelaskan sampel produk yang tertera dalam surat adalah Viostin DS, produksi PT Pharos Indonesia dengan nomor izin edar (NIE) POM SD.051523771 nomor bets BN C6K994H, dan Enzyplex, tablet produksi PT Medifarma Laboratories dengan NIE DBL7214704016A1 nomor bets 16185101.

"Berdasarkan hasil pengawasan terhadap produk yang beredar di pasaran melalui pengambilan contoh dan pengujian terhadap parameter DNA babi, ditemukan bahwa produk di atas terbukti positif mengandung DNA babi," tulis Badan POM. Berdasarkan kaidah ilmiah, apabila suatu produk mengandung DNA babi maka secara otomatis produk itu mengandung babi atau unsur babi.

Badan POM telah menginstruksikan PT Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories untuk menghentikan produksi dan/atau distribusi produk dengan nomor bets tersebut. Kedua perseroan memastikan telah menarik seluruh produk dengan NIE dan nomor bets itu dari pasaran serta menghentikan produksi.

Sebagai langkah antisipasi dan perlindungan konsumen, Badan POM menginstruksikan Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia untuk terus memantau dan melakukan penarikan produk yang tidak memenuhi ketentuan, termasuk yang terdeteksi positif mengandung DNA babi tetapi tidak mencantumkan peringatan “mengandung babi”.

"Badan POM RI secara rutin melakukan pengawasan terhadap keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk dengan pengambilan sampel produk beredar, pengujian di laboratorium, serta tindak lanjut hasil pengawasan. Masyarakat diimbau untuk tidak resah dengan beredarnya surat ini," tulis Badan POM.

Saat dikonfirmasi, Kepala Balai Besar POM Mataram Ni Gusti Ayu Nengah Suarningsih membenarkan bahwa surat yang viral berasal dari Balai Besar POM Mataram berisi hasil pengujian sampel suplemen makanan, yaitu Viostin DS dan Enzyplex tablet. "Iya, sudah ada klarifikasi dari Badan POM pusat," ujar Nengah di Mataram, NTB, Rabu (31/1).

Ia mengatakan, Balai Besar POM Mataram telah menarik seluruh produk dari peredaran. Nengah menyebutkan, Viostin DS dan Enzyplex tablet merupakan suplemen makanan yang dijual di toko obat dan apotek.

Dia meminta masyarakat tidak perlu khawatir lagi karena, sebagaimana dijelaskan, seluruh produk sudah ditarik dari peredaran. "Kita sudah cek. Sudah ditarik semua produknya. Sudah tidak ada lagi," kata Nengah.

Langkah Badan POM menarik makanan mengandung babi bukan yang pertama dilakukan. Terbaru, pada Juni 2017, Badan POM menarik sejumlah produk mi instan asal Korea Selatan yang mengandung babi. Produk tersebut di bawah nama dagang Samyang, yaitu mi instan U-Dong dan mi instan rasa Kimchi, kemudian di bawah nama dagang Nongshim, yaitu mi instan Shim Ramyun Black, dan nama dagang Ottogi, yaitu mi instan Yeul Ramen. Semua produk diimpor PT Koin Bumi.

Produsen Viostin DS PT Pharos Indonesia tak menyangkal temuan Badan POM yang menyebut produk mereka mengandung DNA babi. Berdasarkan hasil penelusuran internal, Pharos menemukan salah satu bahan baku pembuatan Viostin DS, yakni chondroitin sulfat yang didatangkan dari pemasok luar negeri dan digunakan untuk produksi bets tertentu, belakangan diketahui mengandung kontaminan.

"Untuk itu, kami telah menyiapkan alternatif pemasok bahan baku dari negara lain yang telah bersertifikat halal di negara asalnya dan telah lulus uji PCR (polymerase chain reaction)," kata Corporate Communications Director PT Pharos Indonesia Ida Nurtika dalam siaran pers, Rabu.

Menurut Ika, PT Pharos secara internal juga aktif melakukan penelusuran dugaan sumber kontaminasi terhadap bahan baku yang digunakan dan produk jadi. Dimulai dari tempat produksi produk jadi, kualitas bahan baku, tempat penyimpanan bahan baku, produsen bahan baku, dan tempat-tempat lain yang memungkinkan terjadinya kontaminasi.

Ia menekankan, selaku produsen Viostin DS yang sudah berdiri di Indonesia sejak 45 tahun lalu, perseroan sangat menjaga kualitas dari seluruh produk yang dihasilkan sejak pengujian bahan baku hingga produk jadi.

Ketika ada temuan indikasi kontaminasi oleh Badan POM pada akhir November 2017, mereka melakukan upaya penanganan sesuai dengan arahan Badan POM. Upaya itu dimulai dari penarikan bets produk yang diduga terkontaminasi hingga menghentikan produksi dan penjualan Viostin DS.

"Sebagai bentuk tanggung jawab selaku produsen, kami berupaya menarik seluruh produk Viostin DS dari berbagai wilayah di Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin kepentingan konsumen," ujar Ida.

Tarik semua

Pakar produk halal yang juga mantan menteri pertanian Anton Apriyantono mempertanyakan keputusan Badan POM yang hanya menarik produk Viostin DS dan Enzyplex tablet dengan NIE dan nomor bets tertentu dari peredaran.

"Mestinya ditarik semua dong. Apakah produk yang lain bebas dari unsur babi? Asumsinya ya mestinya sama karena bahan bakunya sama," ujarnya di Jakarta, Rabu.

Anton menduga kasus ini muncul karena ada masalah pada saat pendaftaran. Seharusnya, produsen pada waktu pendaftaran mengumumkan bahwa produknya mengandung babi atau unsur babi.

Ketika produsen tidak mengumumkan, Badan POM tidak dapat mengetahui. Badan POM menganggap tak ada masalah sehingga tidak dicek. "Dugaan saya begitu. Tapi, kemudian mungkin ada pengaduan dari masyarakat, informasi terbaru, kemudian Badan POM melakukan pemeriksaan sehingga terbukti," kata Anton.

Ke depan, dia meminta pemerintah segera melaksanakan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Apabila UU dijalankan, diikuti dengan pelaksanaan aturan-aturan turunan seperti peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (permen), peristiwa semacam ini kemungkinan besar tidak akan terjadi lagi.

Sebab, salah satu amanat UU Nomor 33 Tahun 2014 adalah mewajibkan sertifikasi halal seluruh produk, termasuk makanan, pada 2019. "Masalahnya, pemerintah sendiri lambat dalam penerapannya. Mudah-mudahan ini hikmahnya adalah mendorong supaya segera itu diterapkan karena kasihan masyarakat. Jangan sampai sudah kejadian begini baru ribut," ujar Anton.

(eko supriyadi, pengolah: muhammad iqbal).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement