REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Hamas mengecam keputusan Amerika Serikat (AS) yang menempatkan pemimpin politik kelompok tersebut, Ismail Haniya, dalam daftar teror. Menurut Hamas, langkah AS tersebut merupakan hal yang membahayakan.
Seperti dilansir Aljazirah, Kamis (1/2), Hamas mengatakan keputusan Departemen Luar Negeri AS merupakan pelanggaran hukum internasional yang telah memberi hak kepada orang-orang Palestina untuk membela diri terhadap pendudukan Israel.
"Keputusan ini menunjukkan bias Amerika yang mendukung pendudukan Israel, dan memberikan perlindungan resmi untuk kejahatan Israel terhadap rakyat Palestina," ujar pernyataan tersebut.
Hamas menyerukan kepada pemerintah AS untuk mengubah keputusan tersebut dan menghentikan sikap bermusuhannya. "Ini tidak akan menghalangi kita untuk melaksanakan tugas terhadap rakyat kita dan membela mereka, dan membebaskan tanah dan tempat suci kita," tambahnya.
Tanggapan dari Hamas datang tak lama setelah AS menunjuk Haniya sebagai teroris global.
Baca juga, Mengapa Trump Akui Yerusalem Ibu Kota Israel?
Dalam siaran pers Departemen Luar Negeri, AS juga menunjuk tiga kelompok bersenjata lainnya sebagai kelompok teroris Harakat al-Sabireen - sebuah kelompok bersenjata yang berbasis di Gaza, serta dua kelompok yang berbasis di Mesir - Liwaa al-Thawra, dan Harakat Sawa'd Misr.
Anggota Hamas.
Haniya (55), terpilih menjadi pemimpin politik kelompok tersebut pada Mei 2017, menggantikan Khaled Meshaal. Lahir di sebuah kamp pengungsi di Gaza, pemimpin tersebut telah lama dipandang bersikap pragmatis dan fleksibel dalam sikapnya terhadap Israel, dan mendukung sebuah negara Palestina di samping orang Israel.
Pejabat senior Hamas Ghazi Hamad mengatakan, keputusan AS tersebut merupakan bagian dari kampanye yang lebih luas melawan orang-orang Palestina sejak Presiden Donald Trump mulai menjabat pada Januari 2017.
"Jelas bahwa permusuhan dari Pemerintah AS terhadap orang-orang Palestina belum pernah terjadi sebelumnya - dengan dukungan tanpa syarat dari Israel dan keputusannya seputar Yerusalem, dan memotong pendanaannya ke badan pengungsi UNRWA," kata Hamad.
Ia mengatakan pemerintah AS telah berusaha menerapkan kebijakan sesatnya di Timur Tengah.
Hamad menambahkan Haniya adalah ikon perlawanan dan itu adalah sesuatu yang dibanggakan. Trump telah membuat serangkaian keputusan dalam beberapa bulan terakhir yang telah meningkatkan ketegangan di wilayah ini.
Pada 6 Desember lalu AS secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan akan memulai proses pemindahan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Langkah tersebut menimbulkan demonstrasi di wilayah Palestina yang diduduki dan di kota-kota besar di seluruh dunia. Dan, pada 17 Januari, pemerintah AS memutuskan untuk memotong lebih dari separuh dana yang direncanakannya ke badan bantuan PBB untuk pengungsi Palestina.