REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Tito Karnavian disarankan untuk lebih irit bicara. Hal ini untuk menghindari kontroversi agar tidak terulang.
Anggota Dewan Kehormatan PAN, Dradjad Wibowo mengatakan, Kapolri dan jajarannya seharusnya sadar, di zaman demokrasi, kemajuan information and communication technologi (ITC), dan medsos ini, pernyataan lisan atau tertulis bisa menimbulkan kegaduhan jika tidak bener dan pener (tepat).
"Karena itu, selain sebaiknya minta maaf kepada umat Islam, saran saya sebaiknya Kapolri lebih irit bicara. Pejabat publik perlu lebih menjaga lidah sebelum bicara dan jari/jempol sebelum mengirim pesan. Ini sudah hukum baku di jaman demokrasi, ICT dan medsos ini," kata Dradjad, Kamis (1/2) .
Namun, Dradjad tidak setuju kalau sampai Kapolri mundur. Dikatakannya, sering gonta-ganti pejabat itu sangat tidak sehat. Karena, lembaga negara akan habis energinya hanya untuk adaptasi internal akibat mutasi yang terlalu sering.
"Pemerintah saat ini terlalu sering bongkar pasang pejabat. Itu sangat jelek. Dalam sepakbola, hanya tim yang sering kalah/ gagal yang harus bongkar pasang pelatih dan pemain," kata Dradjad.
Sekalipun Kapolri sudah menjelaskan bahwa pidatonya tersebut dipotong sehingga subtansinya berubah, tetapi Dradjad mengingatkan, Kapolri sebelumnya juga pernah membuat kegaduhan, yaitu pada Oktober 2017. Kapolri memicu amarah aktivis perempuan dan sebagian masyarakat akibat pernyataannya tentang korban perkosaan.
Potongan video yang beredar tentang ormas Islam, yang baru-baru ini beredar, menurut dia, menafikan sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Puluhan ormas Islam waktu itu berjuang bahu-membahu untuk kemerdekaan. Mulai dari Al Washliyah di Medan hingga Serikat Dagang Islam, Persis, Mathlaul Anwar hingga Nahdhatul Wathon di NTB, dan banyak sekali yang lain.
"Suka atau tidak, darah umat Islam dan pekikan takbir Allahu Akbar adalah kontributor utama kemerdekaan RI. Dari sisi sejarah saja, wajar jika banyak ormas Islam marah, ungkap dia.
Dradjad khawatir, pernyataan itu juga bisa menimbulkan perpecahan. Karena, seolah-olah NU/Muhammadiyah dibenturkan dengan ormas Islam lain.
"Buat NU dan Muhammadiyah, efeknya bisa jelek. Keduanya bisa dianggap telah terbeli dan terkooptasi oleh kekuasaan. Bukan berarti keduanya harus beroposisi. Tapi kalau dikesankan sebagai corong kekuasaan, tentu memalukan," kata Dradjad.
Terkait dengan video tersebut, Kapolri telah memberikan penjelasan. Menurut Kapolri, video yang viral tersebut tidak utuh sehingga maksud penyampaian pidato itu tidak terangkum sempurna di video yang viral.
"Sedikit pun tidak ada niat dari saya selaku Kapolri, termasuk Polri untuk tidak membangun hubungan dengan organisasi islam di luar NU dan Muhammadiyah," ujar Tito di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (31/1).
Tito mengakui pernyataannya yang dipotong itu membuat beberapa pihak kurang berkenan. "Mungkin ada bahasa yang kalau dicerna dua menit itu membuat beberapa pihak kurang nyaman. Oleh karena itu, saya memberi klarifikasi tentang bagaimana konteks pidato saat itu," ungkapnya.