REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Fitriyan Zamzami
Sekali waktu datang seorang pria kepada Rasulullah SAW. Yang bersangkutan kemudian menuding istrinya melakukan zina.
Rasulullah menjawab, “tunjukanlah bukti-bukti atau kamu terancam dijatuhi hukuman”. Yang dimaksud Rasulullah adalah aturan dalam Alquran bahwa penuding perzinahan mesti menghadirkan empat saksi mata yang melihat secara langsung perzinahan. Jika tak memenuhi syarat itu, penuding di jatuhi hukuman 80 kali cambukan (Alquran QS 24:4).
Sang suami keberatan. Dalam kejadian yang langka, sekali ini ada sahabat Nabi yang meragukan perintah Alquran. Ia merasa seorang suami tak perlu mengumpulkan bukti jika menuding istrinya berzina. Atas itu, Nabi SAW mengulangi perkataannya.
Sang suami kian putus asa. Ia bersumpah demi Allah berkata jujur, dan mengatakan Allah pasti akan menurunkan ayat yang membebaskanya dari hukuman tudingan palsu. Rasulullah beranjak pergi.
Tak lama, memang turun ayat yang terangkum dalam Surah Annur ayat 6-10. Isinya, jika seorang suami tak punya saksi kecuali dirinya sendiri, maka persaksiannya adalah empat kali sumpah dengan nama Allah, dengan sumpah kelima meminta laknat Allah bila ia berdusta.
Tak selesai di situ, sang istri juga bisa dibebaskan dari hukuman bila ia melakukan kesaksian tak melakukan zina sebanyak empat kali atas nama Allah kemudian digenapi dengan sumpah meminta laknat Allah bila berdusta.
“Dan sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu (niscaya kamu akan menemui kesulitan). Dan sesunguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Mahabijaksana,” rangkaian ayat-ayat itu ditutup.
Singkat kata, sang suami menyatakan sumpah tudingan beserta yang kelima. Demikian juga sang istri menyatakan sumpah tak bersalah. Menjelang sumpah kelima, ia terdiam sejenak. Para sahabat sempat mengira ia akan menarik sumpahnya. Namun, sahabat Nabi Abdullah bin Abbas menuturkan, sang istri tetap mengambil sumpah kelima dan berkata selepasnya, “aku tak akan mempermalukan kaumku selama-lamanya!”
Atas sumpah ini, Rasulullah meminta nantinya bayi yang dilahirkan sang perempuan diperiksa. Bila ia lahir dengan ciri-ciri tertentu, ia adalah anak dari pria yang dituding berzina dengannya. Pada akhirnya, sang anak lahir dengan memenuhi ciri-ciri tersebut. “Kalau bukan karena keputusan Kitabullah yang mendahuluinya, pastilah aku membuat perhitungan dengannya,” kata Rasulullah kemudian.
Kisah yang disertakan Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya mengutip Shahih Imam al Bukhari tersebut menggambarkan betapa pentingnya persoalan pembuktian hukum zina dalam Islam. Bahkan Rasulullah tak menerapkan hukuman jika prosedur yang disyaratkan Alquran tak terpenuhi meski ada bukti fisik berupa bayi yang lahir.
Mengapa hukum zina dalam Islam sedemikian ketat?
Menurut guru besar hukum Islam UIN Arraniry Banda Aceh, Prof Al Yasa Abubakar, hukuman zina dalam Islam sedianya memiliki dua sisi. Yakni, menghukum mereka-mereka yang melakukan zina dan melindungi orang baik-baik dari tudingan zina. “Dua sisi tersebut harus seimbang,” kata salah satu penyusun qanun jinayat Aceh tersebut saat dihubungi Republika, Kamis (1/2).
Berbeda dengan hukuman-hukuman pidana lainnya dalam Islam seperti pencurian, tudingan tanpa bukti untuk kasus perzinahan adalah kejahatan tersendiri. “Ini untuk menghindari asal tuduh semisal untuk kepentingan politik atau sebagainya,” kata Prof Al Yasa.
Ia kemudian mencontohkan pasal-pasal dalam qanun jinayat Aceh terkait hal ini seperti tertuang dalam Qanun Nomor 6/2014 dan Qanun Nomor 7/2013. Yang pertama, pihak-pihak yang mengaku melakukan perzinahan baik melalui media massa maupun ke aparat penegak hukum bisa dihukum.
Setelah itu penuding diwajibkan membawa empat saksi yang hadir pada waktu dan tempat yang sama saat perzinahan terjadi. Dalam hal ini, Aceh mengabaikan pandangan bahwa saksi perempuan adalah setengah saksi laki-laki. “Perempuan dan laki-laki sama.”
Pasal selanjutnya, pihak penuding baik melalui pernyataan di media massa maupun laporan kepolisian harus dihukum bila tak bisa menghadirkan saksi-saksi yang disyaratkan tersebut. Dalam qanun Aceh, kehamilan juga tak bisa jadi bukti perzinahan. Hal itu, kata Prof Al Yasa, disepakati seluruh mazhab ahlusunnah.
Selanjutnya, perempuan yang hamil akibat perzinahan bisa menyeret pelaku laki-laki melalui tes DNA. “Ini ijtihad karena dulu tidak ada tes DNA,” kata Prof Al Yasa. Klausul-klausul terakhir itu, kata Prof Al Yasa, juga ditujukan untuk melindungi korban pemerkosaan.
Saat ini, anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU RKUHP) tengah membahas perihal perluasan hukuman zina dan pencabulan sesama jenis dalam pasal-pasal asusila dan pencabulan tersebut.
Dalam naskah akademis rancangan revisi yang diterbitkan Kementerian Hukum dan HAM pada 2015, memang disarankan dua perbuatan itu masuk dalam revisi KUHP. Ada sejumlah pertimbangan dalam naskah itu mengenai perluasan hukuman tersebut. Salah satunya adalah berdasarkan aturan agama-agama yang dianut di Indonesia.
“Menegaskan perbuatan-perbuatan sebagai tindak pidana terhadap kesusilaan, baik dengan memperhatikan perundang- undangan negara lain, maupun penentuan tindak pidana baru yang digali dari norma-norma agama yang berkaitan dengan kesusilaan; dan memperbaiki konstruksi-konstruksi sekitar tindak pidana yang sebelumnya ini telah ada dalam aturan perundang-undangan kita dengan menyesuaikannya kepada pemikiran bahwa hukum mendapat sandaran kuat pada moral agama,” tertulis dalam pembahasan bab Tindak Pidana Kesusilaan.