Jumat 02 Feb 2018 14:01 WIB

Indonesia dan Australia Berkolaborasi Membangun Kota Cerdas

Kerja sama tidak sampai menyentuh ranah kurikulum pembelajaran.

Rep: Nora Azizah/ Red: Winda Destiana Putri
Smart city, ilustrasi
Smart city, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Obrolan Indonesia dan Australia terkait teknologi pembangun infrastruktur Smart City berujung pada hitam di atas kertas. Melalui institusi pendidikan University of Technology Sydney (UTS) dan Institut Teknologi Bandung (ITB), keduanya sepakat menandatangani Memorandums of Understandung (MoU) untuk berkolaborasi dalam membangun Kota Cerdas di dua negara.

Kerja sama tersebut akan berlangsung selama tiga tahun, namun tidak menutup peluang akan diperpanjang. "Kerja sama ini bentuknya saling mendukung terhadap riset teknologi untuk membangun kota cerdas," ujar Prof. Dr. Ir. Suhono Harso Supangkat dalam acara Media Briefing di Jakarta, Rabu (31/1). Meski melibatkan dua institusi pendidikan, kerja sama tidak sampai menyentuh ranah kurikulum pembelajaran.

Suhono memaparkan, riset terhadap perkembangan penerapan teknologi smart city diperlukan demi mencapai implementasi aktual di kota-kota besar. Riset yang dilakukan antara UTS dan ITB terkait urbanisasi pada masing-masing kota. Saat ini, Kota Jakarta sudah menjadi objek percontohan penerapan teknologi Kota Cerdas bagi kota-kota lain di Indonesia.

Riset tersebut kemudian digunakan untuk mendapatkan solusi dari permasalahan di kota, seperti sampah, energi, transportasi, hingga sosial dan lingkungan. UTS secara organisasi dan institusi memiliki arsitektur teknologi dalam menerapkan Smart City. Kemudian ITB bertugas melakukan pengembangan model atau kosntruksi terkait pembangunannya di Indonesia.

Australia dan Indonesia sudah melakukan riset terhadap rating penerapan smart city di beberapa kota besar. Bahkan riset tersebut tidak hanya sebatas untuk diterapkan di dua negara tetapi juga berlaku dalam skala Asia Tenggara. Meski dari segi demografi penduduk dan kultur berbeda, Australia dan Indonesia justru mendapatkan solusi dari perbedaan tersebut.

"Kalau tidak berbeda permasalahannya maka tak perlu kolaborasi," jelas Suhono. Peran masyarakat dan birokrasi juga diperlukan dalam menerapkan teknologi tersebut. Smart City tidak hanya persoalan kecanggihan tekknologi digital saja tetapi juga membutuhkan keterlibatan manusia. Teknologi saja tidak cukup untuk membangun kota pintar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement