Jumat 02 Feb 2018 20:37 WIB

Inilah Potensi Ancaman Bisnis di Asia Pasifik

Optimisme pebisnis di Indonesia tertinggi di dunia

Petugas melakukan pemasangan bantalan rel di Depo MRT Lebak Bulus, Jakarta, Senin (14/8). Proyek MRT Jakarta memasuki tahap pemasangan rel dari Depo Lebak Bulus dan pada akhir 2017 tahap konstruksi akan mencapai 93 persen secara keseluruhan.
Foto: Puspa Perwitasari/Antara
Petugas melakukan pemasangan bantalan rel di Depo MRT Lebak Bulus, Jakarta, Senin (14/8). Proyek MRT Jakarta memasuki tahap pemasangan rel dari Depo Lebak Bulus dan pada akhir 2017 tahap konstruksi akan mencapai 93 persen secara keseluruhan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Ekonomi di kawasan Asia Pasifik yang tergambar dari level optimisme bisnis mencapai titik tertinggi selama 2 tahun terakhir yaitu di angka 41 persen. Hal itu tidak terlepas dari peran dua kekuatan raksasa ekonomi Asia Pasifik, Jepang dan Tiongkok.

Bahkan dalam hasil survey  Grant Thornton menyebutkan  46 persen pelaku bisnis percaya "One Belt One Road" yang diinisiasi pemerintah Tiongkok dengan menyiapkan 5 Trilyun dolar AS untuk program infrastruktur di Asia, Timur Tengah, Eropa dan Afrika akan menjanjikan cerahnya kesempatan pertumbuhan ekonomi. 

Optimisme bisnis di Asia Pasifik didorong fakta 50 persen dari pelaku bisnis memiliki keyakinan cukup tinggi akan stabilitas kondisi geolitik di kawasan Asia Pasifik. Ini  akan menciptakan iklim bisnis kondusif untuk perdagangan bebas setidaknya 5 tahun ke depan. Namun,  perlu  diwaspadai potensi ancaman yang mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi maupun optimisme bisnis di Asia Pasifik.

Pertama adalah populasi yang menua. Selama 2 tahun terakhir dianggap sebagai ancaman yang paling besar (diyakini  33 persen pelaku bisnis di tahun ini). Kedua, konflik regional terkait sengketa kawasan. Ketidakpastian cara para pemimpin negara untuk menyelesaikan perselisihan akan mempengaruhi kemampuan merencanakan ekonomi secara efektif. 

Ancaman populasi yang menua dinilai tidak adanya solusi kilat akan hal tersebut.  Namun pelaku bisnis dapat mempertimbangkan untuk mencari sumber baru bag tenaga kerja  termasuk mereka yang sedang mencari perubahan jenjang karir dari pekerjaan saat ini.

Ketiga, perlambatan ekonomi Tiongkok. Kondisi yang terdengar santer sebagai salah satu penyebab melambatnya ekonomi global dari tahun lalu.  Sebanyak 32 persen pelaku bisnis di Asia Pasifik percaya sebagai potensi ancaman. 

Rodger Flynn, Grant Thornton Regional Head of Asia Pacific dalam keterangan tertulisnya Jumat (2/2) mengatakan bisnis di seluruh wilayah bergulat dengan berbagai tantangan ekonomi, budaya dan politik. "Meski data pendukung masih positif, jika tantangan tersebut dibiarkan tidak tertangani dapat menghalangi prospek pertumbuhan yang telah diidentifikasi laporan terbaru kami," katanya.

Saat ini optimisme pelaku bisnis di Indonesia  tertinggi di dunia  mencapai 100 peren. Tertinggi dibanding rata-rata ASEAN dan APAC yang keduanya berada di level 58 persen. Optimisme akan adanya peningkatan penjualan juga diyakini 72 persen pelaku bisnis di Indonesia, lebih tinggi dari rata-rata ASEAN di 58 persen dan APAC di 67 persen. 

Sejalan dengan membaiknya perekonomian dunia, kinerja perekonomian Indonesia pada tahun 2018 diperkirakan turut mengalami perbaikan. Optimisme Pemerintah terlihat dari target pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2018 yang diproyeksikan dapat mencapai 5.4 persen (lebih tinggi dari 2017), terutama didorong peningkatan kinerja investasi dan ekspor, seperti tertuang pada Nota Keuangan dan RAPBN 2018 dari Departemen Keuangan. 

Target pertumbuhan tersebut didukung faktor lainnya seperti kurs dolar AS dan inflasi yang relatif stabil serta harga komoditi yang mulai bangkit. Di sisi lain, tingkat optimisme di Tiongkok, Jepang dan negara utama lain di Asia diyakini menjadi faktor pendorong eksternal tingginya optimisme Indonesia.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement