Sabtu 03 Feb 2018 01:07 WIB

Kuburan Massal Muslim Rohingya Ditemukan di Rakhine

Pemerintah Myanmar membantah melakukan pembunuhan massal terhadap minoritas Muslim.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agus Yulianto
Rumah-rumah terbakar di desa Gawdu Zara, negara bagian Rakhine utara, Myanmar di desa yang telah ditinggalkan oleh Muslim Rohingya (Ilustrasi)
Foto: AP Photo
Rumah-rumah terbakar di desa Gawdu Zara, negara bagian Rakhine utara, Myanmar di desa yang telah ditinggalkan oleh Muslim Rohingya (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyuarakan keprihatinan mereka, setelah sebuah laporan merinci luas kuburan massal di negara bagian Rakhine, bagian barat Myanmar. Menurut Associated Press (AP), setidaknya ada lima kuburan massal yang sebelumnya tidak dilaporkan di daerah yang dilanda konflik tersebut.

"Ini adalah gabungan serentetan mayat yang tertumpuk di atasnya satu sama lain," kata Noor Kadir, seorang kolektor kayu berusia 24 tahun, saat dia menceritakan penemuan dua tempat kuburan massal tersebut, seperti dilansir dari Muslim News, Jumat (2/2).

Sementara itu, Pemerintah Myanmar membantah melakukan pembunuhan massal terhadap minoritas Muslim Rohingya di wilayah tersebut. Namun, laporan AP tersebut mengindikasikan adanya sebuah pembantaian sistematis yang dikatakan telah dilakukan oleh militer Myanmar. AP mengatakan, bahwa kuburan massal yang ditemukan hanyalah bukti terbaru genosida yang dilakukan oleh Naypyidaw.

Menanggapi laporan tersebut, PBB mengatakan bahwa hal itu menekankan perlunya PBB untuk memiliki akses ke negara bagian Rakhine. Namun, juru bicara untuk Sekjen Antonio Guterres, Stephane Dujarric, mengatakan, mereka tidak memiliki akses yang mereka inginkan.

"Sangat penting bagi kami untuk memiliki akses untuk memverifikasi laporan ini," kata Dujarric.

Sementara itu, AS mengatakan, pihaknya sangat terganggu oleh laporan tersebut. Mereka menggemakan kekhawatiran PBB atas kurangnya akses ke wilayah tersebut. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Heather Nauert, mengatakan, AS tetap fokus untuk membantu memastikan akuntabilitas bagi mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia tersebut.

"Dengan bantuan ahli forensik, penyelidikan akan membantu memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dunia perlu tahu persis apa yang terjadi di sana," kata Nauert.

Lebih dari 650 ribu pengungsi, kebanyakan anak-anak dan perempuan, telah meninggalkan Myanmar sejak 25 Agustus 2017 ketika pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan. Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningkat atas serangan tersebut sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012.

 

Menurut Doctors Without Borders, sedikitnya sembilan ribu warga etnis Rohingya tewas di negara bagian Rakhine dari rentang waktu 25 Agustus hingga 24 September 2017.

 

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada 12 Desember 2017, organisasi kemanusiaan global tersebut mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Mereka termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.

PBB telah mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan (termasuk bayi dan anak kecil), pemukulan brutal dan penghilangan yang dilakukan oleh petugas keamanan. Dalam sebuah laporan, penyidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement