Sabtu 03 Feb 2018 09:33 WIB

Mengukur Peluang Presiden Jokowi dalam Pilpres 2019

Presiden Jokowi rentan diterpa isu ekonomi dan agama.

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Budi Raharjo
 Peneliti LSI Adjie Alfaraby (Kanan) memberikan keterangan kepada media terkait hasil survei menjelang Pilpres 2019 di Graha Dua Rajawali, Jakarta, Jumat (2/2).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Peneliti LSI Adjie Alfaraby (Kanan) memberikan keterangan kepada media terkait hasil survei menjelang Pilpres 2019 di Graha Dua Rajawali, Jakarta, Jumat (2/2).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Posisi Presiden Joko Widodo belum aman. Begitu hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengenai peluang calon pejawat dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2019.

Memasuki tahun keempat masa jabatannya, elektabilitas Presiden Jokowi belum juga menyentuh 50 persen. Bandingkan dengan, presiden sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang elektabilitasnya stabil di kisaran 60 persen sebelum memasuki Pilpres. Jelas ini lampu kuning bagi Presiden Jokowi bila ingin mempertahankan jabatannya.

"Dari riset LSI, pada Januari 2018 ini, elektabilitas Jokowi mencapai 48,50 persen. Di sisi lain, elektabiltas calon-calon pesaing Jokowi sebesar 41,20 persen dan ada 10,30 persen orang yang belum menentukan pilihan. Dari data itu, LSI melihat Jokowi sudah kuat tapi belum aman," ujar Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfarabi, saat memaparkan hasil survei itu.

Dikarenakan elektabilitas yang masih belum aman, Adjie menyebut peluang Jokowi untuk memenangkan Pilpres tahun depan, 50-50. Peluang untuk menang dengan peluang menuai kekalahan sama besarnya. Kemenangan di Pilpres 2019 akan ditentukan pengelolaan isu yang tepat oleh masing-masing calon. "Sebesar 50 persen kemungkinan pejawat presiden terpilih kembali. Sebanyak itu pula, kemungkinan 50 persen pejawat dikalahkan," ujar Adjie, Jumat (2/2).

Adjie mengatakan Indonesia baru melaksanakan pilpres langsung tiga kali pada 2004, 2009, 2014. Namun baru dua kali, pejawat presiden bertarung kembali yakni Megawati pada 2004 dan SBY pada 2009.

Pada pemilu 2014, tak ada pejawat presiden yang bertarung. Presiden SBY sudah memangku jabatan dua periode dan sesuai aturan tak bisa maju kembali. Pilpres 2014 berlangsung tanpa kehadiran pejawat sebagai peserta. Pada 2004, pejawat presiden kalah. Pada 2009, pejawat presiden menang. Sejarah Indonesia menunjukkan angka.

Berkaca para Pilpres Amerika Serikat, kompetisi pejawat juga ketat. Berdasarkan data 18 kali pemilu presiden terakhir dimana pejawat maju kembali untuk periode kedua, 10 kali pejawat presiden menang dan delapan kali pejawat presiden kalah. Persentase pejawat untuk menang dalam pilpres AS tersebur sebesar 55 persen.

Berdasarkan kasus Indonesia dan AS, 50-55 persen pejawat presiden akan menang. Namun sebesar 45 -50 persen pula pertahana akan kalah. Data statistik ini bisa jadi berita baik atau berita buruk untuk Joko Widodo (Jokowi) selaku pejawat dan penantangnya kelak, tergantung pada pengelolaan isu yang mereka lakukan.

photo
Presiden Joko Widodo menaiki truk untuk melakukan uji coba Tol Pelabuhan Bakauheni-Terbanggi Besar seksi satu seusai diresmikan, di Bakauheni, Lampung, Minggu (21/1). Presiden telah meresmikan dua ruas tol Pelabuhan Bakauheni-Simpang Susun Bakauheni dan Simpang Susun Sidomulyo-Kotabaru

Isu ekonomi dan agama rentan menerpa Jokowi

Dari hasil survei, isu sektor ekonomi akan menjadi isu rentan bagi Presidenn Jokowi. Adjie memaparkan, dari sisi kepuasan kinerja, 70 persen responden merasa puas dengan kinerja Jokowi dan 21,30 persen responden merasa kurang puas. Dari data itu, LSI melihat Jokowi sudah kuat tapi belum aman.

Dalam jumlah besar, publik tak puas dengan kondisi ekonomi. "Masalahnya, isu ekonomi adalah isu terpenting yang membuat pejawat menang atau kalah," ujar Adjie, Jumat (2/2).

Sebesar 52,6 persen responden menyatakan harga-harga kebutuhan pokok makin memberatkan mereka. Sebesar 54,0 persen responden menyatakan sulit mendapatkan pekerjaan. Sebesar 48,4 persen responden menyatakan pengangguran semakin meningkat.

Merebak pula isu buruh negara asing, terutama yang berasal dari Cina. Di tengah sulitnya lapangan kerja dan tingginya pengangguran di berbagai daerah, isu tenaga kerja asing sangat sensitif.

Isu ini secara nasional memang belum populer karena belum banyak diketahui masyarakat. Survei LSI menunjukkan baru 38,9 persen responden mendengar isu ini. Dari jumlah itu, 58,3 persennya menyatakan sangat tidak suka dengan isu itu dan hanya 13,5 persen yang menyatakan suka.

Jokowi rentan pula terhadap isu agama. Kekuatan dan isu Islam politik diprediksi akan mewarnai Pilpres 2019 seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017, tapi dalam kadar berbeda. Islam politik sendiri adalah terminologi untuk segmen pemilih yang percaya dan sangat yakin politik tak bisa dipisahkan dari agama. "Untuk pemilih Indonesia, jumlah segmen Islam Politik terbilang besar," kata Adjie.

Sebesar 40,7 persen responden menyatakan tidak setuju agama dan politik dipisahkan. Sementara 32,5 persen publik menyatakan agama dan politik harus dipisahkan. Dari mereka yang menyatakan agama dan politik harus dipisahkan, 58,6 persennya mendukung kembali Jokowi sebagai presiden.

Sementara mereka yang tidak setuju agama dan politik harus dipisahkan, 52,1 persennya mayoritas mendukung capres selain Jokowi. Meski begitu, Jokowi masih memperoleh dukungan sebesar 40,8 persen dar segmen Islam Politik ini. "Islam politik versus bukan Islam politik menunjukkan perilaku politik berbeda terhadap memilih atau melawan Jokowi," ungkap Adjie.

Dua isu besar itu akan berperan besar menentukan kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019. Jokowi akan makin kuat dan perkasa jika isu-isu ini dikelola dengan baik. Sebaliknya, Jokowi akan melemah jika isu ini terabaikan, apalagi sampai 'digoreng' lawan politiknya.

photo
Presiden Jokowi dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menunggang kuda usai menggelar pertemuan tertutup di kediaman Prabowo di Bogor, Senin (31/10).

Penantang kuat Jokowi

Lantas siapa penantang Jokowi dalam Pilpres mendatang? Survei LSI memperlihatkan Prabowo Subianto masih akan jadi calon terkuat pesaing Joko Widodo (Jokowi).

Adjie menjelaskan, survei membagi capres penantang Jokowi dalam tiga divisi berdasarkan popularitas. Popularitas dinilai penting karena menjadi modal awal para tokoh untuk bertarung.

Divisi 1 untuk capres yang popularitasnya di atas 90 persen. Dari nama-nama yang akan bertarung, hanya Prabowo Subianto yang masuk ke dalam Divisi 1 dengan tingkat popularitas Prabowo mencapai 92,5 persen. "Penantang Divisi 1 hanya ditempati satu tokoh saja yaitu Prabowo Subianto, sepi," ungkap Adjie.

Divisi 2 adalah kelompok untuk capres dengan popularitas antara 70-90 persen. Tokoh yang masuk dalam Divisi 2 ini hanya Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Popularitas Anies Baswedan sebesar 76,7 persen dan AHY sebesar 71,2 persen. "Riuh Pilkada DKI tahun lalu menjadi panggung nasional bagi dua tokoh ini," kata Adjie.

Sementara Divisi 3 merupakan kelompok capres yang popularitasya antara 55-70 persen. Tokoh yang memenuhi kriteria ini hanya Gatot Nurmantyo dengan popularitas 56,5 persen. Sayangnya sejak pensiun, kiprah Gatot memudar. "Padahal penonton masih rindu dan bertepuk tangan menanti atraksinya," ujar Adjie.

Setahun menuju Pilpres 2019, sanggupkah Presiden Jokowi mendongkrak kembali elektabilitasnya?  Mampukah di waktu yang tersisa ini, pejawat mengelola isu-isu sensitif di sekelilingnya?

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement