REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Salah satu pemain utama industri sedotan plastik menyatakan pencarian alternatif produk sedotan ramah lingkungan menemui jalan buntu. CEO Primaplast, John Sidanta, menyadari peningkatan kesadaran global atas polusi plastik di laut dan darat. Namun, alternatif produk yang lebih ramah lingkungan belum begitu berkembang dan harganya ratusan kali lebih mahal.
''Material penggantinya harus semirip mungkin kualitasnya dengan plastik dan itu tidak mudah,'' kata Sidanta, dilansir BBC, Jumat (2/2).
Sidanta mengatakan, karton kemasan minuman saja bisa bertahan 18 bulan. Namun sedotan plastik dari material alternatif yang bisa bertahan selama itu akan menelan biaya produksi ratusan kali lebih mahal.
Kurangi Penggunaan Sedotan Bisa Bantu Selamatkan Laut Lho
Primaplast sendiri memproduksi hingga 600 juta sedotan plastik polipropilen per bulan dari pabrik mereka di Tangerang, Indonesia yang kemudian diekspor ke Eropa dan Jepang bersama kemaran minuman berbahan karton yang juga mereka produksi.
Meski begitu, beberapa perusahaan seperti jaringan kelab hiburan JD Wetherspoon, All Bar One, dan Pizza Express sudah mengumumkan rencana mereka mengurangi penggunaan sedotan plastik. Penggunaan sedotan yang dapat dipakai berulang dari bambu, logam, atau kaca yang dibanderol beberapa poundsterling juga mulai marak. Di sisi lain, penggunaan sedotan berbahan kertas masih menuai pro kontra terkait daya tahan dan kemudahan penggunaannya.
Sidanta menambahkan, polipropilen sebenarnya bisa didaur ulang. Di Jepang, daur ulang polipropilen dijadikan pembungus bahkan alat tulis. Ia yakin pemerintah di berbagai negara harus menentukan regulasi yang jelas soal penggunaan plastik. Menurutnya, seruan boikot plastik saja tak akan mempan.
"Kita harus rasional. Tidak masuk akal bila hanya mengajak setop memaki plastik tanpa ada solusi," kata Sidanta.
Masalahnya pun bukan cuma sedotan plastik, tapi semua produk sekali pakai di semua jaringan restoran dan gerai makanan. Sidanta mengaku sudah 15 tahun mencari bahan pengganti polipropilen, tapi harganya tidak bagus sehingga saat ini ia masih menghadapi jalan buntu.