REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Bivitri Susanti mengkritisi proses pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dilakukan di DPR saat ini, yang menurunya sarat dengan unsur politis. Menurut dia, pembahasan RKUHP seharusnya dilakukan secara mendalam dengan melibatkan para ahli hukum.
"Gegabah sekali dalam membahas sebanyak 700-an pasal yang sedemikian penting, tetapi yang membahas hanya 20-an orang saja. Sementara itu, pembahasan tidak melibatkan ahli hukum. Model pembahasan ini sangat tidak tepat," ujar Bvitri kepada wartawan usai mengisi diskusi bertajuk 'RKUHP Ancam Demokrasi ?' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (3/2).
Dia melanjutkan, pembahasan RKUHP hanya dihadiri segelintir orang anggota dewan saja. Pembahasaan saat ini juga dilakukan pasal per pasal dengan disertai daftar isian masalah (DIM).
Ditambah lagi, kata dia, topik-topik yang dibahas dalam RKHUP banyak menyinggung isu penting dan juga sensitif. Bvitri mencontohkan, ada isu seputar HAM, tindakan asusila dan pidana mati.
"Topik-topik itu sangat penting dan berpeluang dipolitisasi. Jika dibahas dengan metode saat ini, maka ada potensi lobi-lobi oleh parpol. Jadi harus ada upaya mendorong pembahasan RKUHP dengan cara yang berbeda. RKUHP bukan undang-undang biasa," tegasnya.
Risiko lain yang juga harus dipikirkan dalam pembahasan RKUHP saat ini adalah ketiadaan pendalaman pasal-pasal yang ada, soal RKUHP jika dihadapkan kepada ranah hukum publik serta pertimbangan hukum.
"Ada kecenderungan untuk melakukan negosiasi, misal sekian tahun (masa hukuman). Hukum pidana tidak bisa diperlakukan seperti itu. Kami menyarankanmetode pembahasannya melibatkan secara penuh para ahli hukum dengan DPR sebagai pengawalnya," jelasnya.
Dengan cara ini, keputusan tetap ada di DPR tetapi tetap melibatkan para ahli hukum. "Jika dibahas secara negosiasi politik maka RKUHP ini tidak akan selesai-selesai. Jika selesaipun dipaksakan dan hasilnya buruk," tambah Bivitri.