REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ferry Kisihandi
Hujan turun pada Sabtu (20/1) sore di Liege, Belgia. Undak-undakan menuju pintu masuk Museum La Boverie, Liege terbasuh air. Hawa dingin disertai hujan rupanya tak membuat pengunjung surut. Berbekal payung dan jaket tebal mereka melangkah menuju La Boverie.
La Boverie, menjadi tempat pameran Archipel, benda serta budaya terkait tradisi mairitim dan kepulauan di Indonesia. Jos Vandebrouck pemandu sejarah seni dari Vrije Universiteit Brussels, menyambut ramah pengunjung termasuk rombongan Mendikbud Muhadjir Effendy.
Vandebrouck menyusuri setiap ruangan, memberikan penjelasan dengan suara lantang tentang benda-benda seni yang dipamerkan. Termasuk saat sampai pada bagian Islam. Ia menuturkan, pada abad ketujuh Islam menyebar dan memperkenalkan diri di Indonesia.
Islam diserap, tak menjatuhkan yang lain tetapi berjalan beriringan dengan agama-agama lainnya. Vandebrouck lalu menunjuk replika masjid beratap tiga tingkat dengan atap puncak yang mengerucut.’’Kita lihat, mereka beradaptasi dan kemudian berjalan beriringan.’’
Tak lama berselang, ia mengalihkan pandangan pada tiga piring porselen yang bertuliskan kaligrafi. Ia bertutur, dalam seni, Islam berupaya memurnikan diri dari penggambaran melainkan menekankan hal lain, sangat dekoratif.
Seusai memandu tur ke setiap bagian pameran, Vandebrouck ditanya bagaimana Anda melihat bagian atau corner tentang Islam? Ia mengatakan, dirinya melihat orang Indonesia dari berbagai pemeluk agama. Itu hal yang sangat bagus.
Mereka bisa hidup berbahagia bersama. ‘’Itu dimulai dengan respek, rasa saling menghormati dan itulah yang kami temukan dari Indonesia,’’ kata Vandebrouck. ‘’Anda memiliki orang dengan berbagai bahasa hidup di sebuah negara besar, negara kepulauan.’’
Maka, semua perbedaan kultur dan agama hidup bersama. Satu menghormati yang lainnya. Ia menyatakan, dirinya tak melihat adanya masalah. Menurut dia, ini begitu indah hidup bersama dengan baik.’’Itulah yang paling menakjubkan di dunia.’’
Di Belgia, masyarakatnya hidup dengan menggunakan tiga bahasa berbeda, yaitu Belanda, Prancis, dan Jerman. Kadang, kata dia, itu berjalan dengan mudah tetapi juga tak jarang melahirkan kesulitan. Namun, warga Belgia harus hidup dengan kenyataan itu.
Tak hanya itu, warga Belgia juga mendapatkan kenyataan adanya imigran. ‘’Kami juga harus hidup dengan mereka.’’ Sebab, kata dia, dunia ini bukan desa kecil, ini menjadi global. Jadi, mereka yang bisa bertahan bukan yang paling kuat tetapi yang paling bisa beradaptasi.
Ini merupakan pesan baik dari pameran ini, adaptasi. Vandebrouck menilai, orang-orang Indonesia mempunyai kemampuan besar dalam beradaptasi. Eropa dapat mempelajari keberagaman Indonesia, dan melalui Europalia, Eropa belajar dari negara lain.
Dalam konteks ini, Belgia khususnya, bekerja sama dengan Indonesia. Ia menekankan, ini penting karena Belgia tak bisa melakukan sendiri. Europalia berlangsung di Brussels pada 10 Oktober 2017 dan berakhir pada 21 Januari 2018.
Selain lewat pameran budaya, ihwal Islam juga disampaikan melalui film. Kurator Program Film Nan T Achnas menyatakan,pihaknya ingin menunjukkan keragaman di Tanah Air dengan memboyong film dengan tema berbeda.
Tak heran jika ia menghimpun sekitar 51 film panjang, film pendek, dan dokumentasi, yang tak hanya fokus soal persoalan di Jawa tetapi juga di Nusa Tenggara Timur, Sumatra, dan daerah lainnya.
‘’Kami ingin mengubah mindset atau pola pikir penonton Eropa tentang Indonesia,’’ kata Nan seusai pemutaran Saur Sepuh: Satria Madangkara di Bioskop Cinema Vendome, Brussels, Jumat (19/1) malam.
Nan menambahkan, biasanya alur berita yang diterima mereka klise dan bersifat stereotype berupa banjir, kerusuhan, rebutan makanan, dan terorisme.’’Kami ingin mengubah world view itu,’’ katanya menegaskan.
Dengan film yang sangat beragam, penonton mendapatkan banyak persepsi tentang Indonesia. Hal menarik, jelas Nan, juga persepsi mereka tentang Islam. Beberapa waktu lalu, warga Belgia mengalami peristiwa pengeboman yang dikaitkan dengan Islam.
Melalui film yang memiliki kaitan dengan Islam, mereka dapat memahami konteks Islam yang bukan dari Arab tetapi dari negara berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia. Film-film bernuansa Islam yang diputar di Cinema Vendome di antaranya, Mencari Hilal.
Film ini mengisahkan perbedaan pandangan seorang ayah yang dianggap konservatif dengan anaknya yang bersikap liberal; 3 Doa 3 Cinta, mengisahkan kehidupan sejumlah remaja yang menimba ilmu di pesantren.
Ada juga, kata Nan, Laskar Pelangi yang memiliki kaitan dengan Islam. Nan mengungkapkan, selepas pemutaran film para penonton Belgia mendapatkan perspektif berbeda tentang Islam.
Mereka yang selama ini mengetahui Islam hanya dari Arab, kemudian mengetahui bahwa Islam itu bukan sekadar Arab. Mereka jadi tahu, jelas Nan, Indonesia yang merupakan negara Islam, umat Islamnya mempunyai sikap dan pandangan beragama yang beragam.
Muslim di Indonesia, ada yang mengenakan jilbab ada pula yang tak mengenakannya. Saat ditanya apakah para penonton mempunyai term khusus mengenai Islam seusai menonton, Nan menjelaskan, mereka ada yang tidak tahu mengenai Islam.
Mereka hanya tahu aksi kekerasan yang pernah terjadi dilakukan pemeluk Islam namun kemudian mereka sadar Islam itu beragam. Hal terkait Islam juga masuk lini masa sejarah di Power and Other Things, tentang Indonesia dan seni sejak 1835 hingga kini, di Bozar, Brussels.
Susanne Weck, Art Mediator mengatakan, selama Europalia berlangsung di Bozar, orang terkesan dengan kerangka sejarah Indonesia. ‘’Di sisi lain, mereka juga memiliki ketertarikan tersendiri pada bagian tertentu yang dipamerkan di sini,’’ katanya Ahad (21/1).