REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah merevisi target pertumbuhan ekspor di 2018 dari 5-7 persen menjadi 11 persen. Ekonom dari institute for development of economics and finance (Indef) Bhima Yudistira menilai, target pertumbuhan tersebut tidak realistis mengingat 70 persen ekspor Indonesia saat ini masih didominasi komoditas mentah dan olahan primer.
Ia menjelaskan, karena barang mentah masih mendominasi, maka naik atau turunnya pertumbuhan ekspor Indonesia sangat ditentukan oleh harga komoditas tersebut di pasar global. Tren harga komoditas, kata Bhima, memang sedang mengalami kenaikan. Namun, ia memprediksi, pertumbuhannya tidak akan setinggi tahun lalu. Untuk komoditas minyak mentah, misalnya, setelah sempat menyentuh angka 70 dolar AS per barel, kini harganya turun di kisaran 67-68 dolar AS per barel.
"Jadi, kenaikan ekspor angka realistisnya cuma 5-7 persen itu," ujarnya, saat dihubungi Republika, Ahad (4/2).
Pada 2017 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor Indonesia tumbuh signifikan mencapai 16,2 persen, jauh melampaui target yang ditetapkan, yakni 5,6 persen. Namun, jika dilihat lebih dalam, di periode yang sama, impor juga mengalami kenaikan 15,66 persen.
"Artinya, net ekspor dalam PDB hanya tumbuh 0,5 persen," kata Bhima.
Menurutnya, pertumbuhan ekspor yang terlihat tinggi di tahun 2017 lalu sebenarnya terjadi karena dampak dari membaiknya harga komoditas di pasar global. Jika dibandingkan dengan kondisi di 2016 saat harga minyak dunia sempat anjlok ke level 30 dolar AS per barel, maka tentu terjadi kenaikan ekspor yang signifikan di 2017.
"Jadi, bukan karena produksi meningkat lebih. Tapi karena harga komoditasnya di 2017 boom lagi."
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita meyakini pertumbuhan ekspor dapat mencapai target 11 persen di tahun ini mengingat kondisi perekonomian dunia semakin menunjukkan arah perbaikan.
Selain itu, ia juga optimistis untuk memasang target ekspor lebih tinggi karena di tahun 2018 paling tidak ada 13 perundingan perjanjian dagang yang akan diselesaikan, baik dalam konteks bilateral, multilateral, maupun regional. Salah satu perjanjian dagang yang tengah dikejar adalah Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
Apabila RCEP berhasil ditandatangani, Mendag meyakini kinerja ekspor Indonesia akan meningkat pesat. Sebab, RCEP merupakan pakta perdagangan bebas yang terdiri atas 16 negara. Jika ditotal, jumlah penduduk dari 16 negara anggota tersebut hampir setengah dari populasi dunia.