REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Namanya, Phoa Nyok Sen. Pria Tionghoa yang akrab disapa Alex ini bekerja sebagai pedagang sembako di Pasar Purworejo, Jawa Tengah. Pada 2000-an, usahanya cukup sukses dengan omzet Rp 70 juta-Rp 80 juta setiap hari. Namun, lambat laun kejayaan itu redup dan akhirnya bangkrut. Bahkan, ia harus menanggung utang ratusan juta rupiah.
Kebangkrutan ini terjadi akibat ulah karyawan kepercayaannya. Uang hasil berdagang yang mestinya 'diputar' lagi untuk membeli barang dagangan, malah dikantongi karyawan tersebut. Akibatnya, usaha Alex terus merugi, bahkan akhirnya harus berutang.
Puncaknya, pada awal 2004, Alex terlilit utang hingga Rp 800 juta. "Bagi saya utang ini sangat banyak dan saya merasa tidak sanggup untuk mengembalikan meskipun harus menjual tanah dan rumah," kata Alex kepada Republika, di Purworejo, belum lama ini.
Banyaknya utang yang harus ditanggung membuat hidup Alex tak tenteram. Setiap hari, ia diteror oleh para penagih utang, baik melalui telepon maupun yang mendatanginya secara langsung. Bahkan, ada pemberi pinjaman yang menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke pengadilan.