REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Presiden Palestina Mahmoud Abbas menjalin komunikasi via telepon dengan Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson, Senin (5/2). Dalam kesempatan tersebut, Johnson menegaskan kepada Abbas bahwa Inggris mendukung perdamaian dengan Israel melalui kerangka solusi dua negara.
"Ini baik untuk berbicara dengan Presiden Abbas dari Otoritas Palestina hari ini. Kami membahas pentingnya melanjutkan perdamaian menuju solusi dua negara," kata Johnson melalui akun Twitter pribadinya, seperti dilaporkan laman kantor berita Palestina WAFA.
Johnson pun menyatakan kepada Abbas bahwa Inggris tak akan memindahkan kedutaan besarnya di Tel Aviv, Israel, ke Yerusalem. Ia sadar, langkah tersebut akan kian memperumit penyelesaian konflik Palestina dan Israel.
Abbas menjawab bahwa Palestina siap untuk duduk di meja perundingan dengan Israel dan membahas tentang kerangka solusi dua negara. Namun, dia menegaskan, Palestina menghendaki solusi tersebut nantinya didasarkan pada garis perbatasan tahun 1967, di mana Yerusalem Timur menjadi ibu kotanya. Menurutnya, hal ini menjadi satu-satunya cara agar Palestina dapat hidup berdampingan dengan Israel.
Pada Desember 2017, Amerika Serikat (AS) mengakui, Yerusalem sebagai ibu kota Israel. AS menjadi negara pertama yang melakukan hal ini. Washington pun telah menyatakan, akan memindahkan kedutaan besarnya di Israel ke Yerusalem.
Namun, pengakuan AS terhadap Yerusalem ditolak dan diprotes oleh berbagai negara, khususnya negara-negara Arab dan Muslim. Hal ini berujung dengan digelarnya sidang darurat di Majelis Umum PBB.
Hasil dari sidang tersebut adalah diadopsinya sebuah resolusi yang menolak dan menggugurkan pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Resolusi tersebut menyatakan, "Setiap keputusan dan tindakan yang dimaksudkan untuk mengubah karakter, status, atau komposisi demografis Kota Suci Yerusalem, tidak memiliki efek hukum, tidak berlaku, dan harus dibatalkan sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan (PBB) yang relevan.