REPUBLIKA.CO.ID, MALE -- Presiden Maladewa Abdulla Yameen pada Senin (5/2) mengumumkan keadaan darurat selama 15 hari. Ia memerintahkan pasukan keamanan mendatangi pengadilan tertinggi dan menangkap mantan presiden Maladewa karena menggerakkan oposisi di negara kepulauan Samudera Hindia tersebut.
Polisi Maladewa juga menangkap Hakim Agung Abdulla Saeed dan seorang hakim Mahkamah Agung pada Selasa (6/2). Ini secara dramatis meningkatkan pertarungan hukum dengan pengadilan tertinggi di kepulauan tersebut.
Polisi mengatakan dalam sebuah pesan Twitter mereka telah menangkap Saeed dan Hakim Agung Ali Hameed untuk penyelidikan yang sedang berlangsung. Tidak ada rincian tentang tuduhan terhadap dua hakim tersebut.
Presiden telah menolak keputusan Mahkamah Agung yang dijatuhkan pada pekan lalu. Keputusan itu mencabut tuduhan terorisme terhadap sembilan tokoh oposisi terkemuka, termasuk presiden terpilih pertama di negara itu, Mohamed Nasheed yang sekarang berada di pengasingan.
Pengadilan memerintahkan tokoh oposisi dibebaskan. Sebanyak enam di antaranya ditahan di penjara utama negara tersebut di sebuah pulau yang jarang dihuni.
"Presiden dipaksa menyatakan keadaan darurat karena risiko yang saat ini diajukan ke keamanan nasional. Pelaksanaan putusan Mahkamah Agung dalam bentuknya saat ini tidak sesuai dengan pemeliharaan keamanan publik," kata sebuah pernyataan dari kantor Yameen.
Polisi menangkap mantan presiden lainnya, Maumoon Abdul Gayoom - yang juga saudara tiri Yameen - di kediamannya bersama dengan menantu laki-lakinya.
Gayoom memerintah negara tersebut selama 30 tahun sampai 2008, dan kini menjadi oposisi. Gayoom adalah salah satu tokoh oposisi yang diperintahkan untuk dibebaskan oleh pengadilan.
"Saya tidak melakukan kejahatan apa pun. Penangkapan ini melanggar hukum. Saya akan tetap kuat, dan saya meminta orang-orang terkasih untuk tetap kuat," ujar Gayoom dalam rekaman video yang viral di media sosial. Ia mengatakan dibawa ke pulau Dhoonidhoo.
Saat tengah malam, jalan menuju ke Mahkamah Agung telah dibarikade. Polisi dengan menggunakan pentungan membubarkan demonstran.
Polisi dengan pentungan berlari ke arah pengunjuk rasa di Male, Maladewa, Selasa (6/2). (AP Photo/Mohamed Sharuhaan)
"Saya baru saja berbicara dengan Ketua Mahkamah Agung dan dia mengatakan kepada saya gerbang Mahkamah Agung diserang militer. Dia ada di dalam dan tidak ada yang bisa keluar atau masuk," ujar Presiden Asosiasi Pengacara Maladewa dan seorang Mantan Jaksa Agung, Husnu Al Suood.
Ia mengatakan keadaan darurat berarti kegiatan Mahkamah Agung dihentikan dan tidak ada yang bertanggung jawab atas pengadilan. Seorang pejabat pengadilan kemudian mengonfirmasi pasukan keamanan negara telah membobol gedung pengadilan dan tidak membiarkan hakimnya keluar dari gedung tersebut.
"Ini adalah pembersihan kepemimpinan politik, parlemen dan pengadilan," kata legislator oposisi Eva Abdulla.
Yameen, yang menjabat sejak 2013, menghadapi tekanan yang meningkat di dalam negeri. Amerika Serikat dan India juga meminta Yameen mematuhi perintah pengadilan.
Dewan Keamanan Nasional AS mengeluarkan sebuah pernyataan di Twitter yang mengatakan pemerintah dan militer Maladewa harus menghormati peraturan hukum, kebebasan berekspresi, dan institusi demokratis. AS mengaku kecewa oleh keadaan darurat dan kegagalan presiden, tentara dan polisi mematuhi keputusan Mahkamah Agung yang sah.
"Presiden Yameen telah secara sistematis mengasingkan koalisinya, memenjarakan atau mengasingkan setiap tokoh politik oposisi utama, mencabut hak anggota parlemen terpilih untuk mewakili pemilih mereka di legislatif, merevisi undang-undang untuk mengikis hak asasi manusia dan melemahkan institusi pemerintahan," katanya dalam sebuah pernyataan.
Amnesty International mengatakan deklarasi darurat selama 15 hari tidak boleh menjadi lisensi untuk represi lebih lanjut. "Otoritas Maladewa memiliki catatan jejak yang mengerikan untuk menekan kebebasan berekspresi dan segala bentuk oposisi, pola perilaku yang telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir," kata Wakil Direktur Amnesty Asia Selatan Dinushika Dissanayake.
Maladewa terdiri dari 26 pulau karang dan 1.192 pulau. Cina, Amerika Serikat dan India telah mengeluarkan peringatan perjalanan untuk Maladewa, sebuah negara dengan penduduk 400 ribu orang dan dikenal sebagai surga pantai bagi wisatawan.
Kegaduhan politk ini terjadi saat puncak musim pariwisata. Pariwisata menghasilkan pendapatan 2,7 miliar dolar AS untuk Maladewa pada 2016.
Maladewa telah mengalami kerusuhan politik sejak pemimpin pertama yang terpilih secara demokratis di pulau itu, Mohamed Nasheed dipaksa berhenti di tengah pemberontakan oleh polisi pada 2012. Tahun berikutnya, Yameen mengalahkan Nasheed dalam sebuah pemilihan yang menurut pendukung Nasheed berlangsung curang. Nasheed dipenjara karena tuduhan terorisme namun diizinkan pergi ke Inggris untuk perawatan medis pada Januari 2016.
Dia telah tinggal di pengasingan sejak saat itu dan saat ini berada di Sri Lanka. Nasheed mengatakan penolakan pemerintah untuk menegakkan konstitusi ini lebih jauh membuat Maladewa tidak stabil dan berdampak pada keamanan Samudera Hindia yang lebih luas.
"Di bawah konstitusi negara tersebut, deklarasi keadaan darurat harus diajukan ke parlemen. Jika terjadi perselisihan tentang deklarasi tersebut, Mahkamah Agung dimaksudkan mengatur validitasnya. Dengan pengadilan secara efektif menangguhkan, tidak segera jelas bagaimana hal itu bisa terjadi," katanya.
Dalam putusannya pada Kamis lalu, Mahkamah Agung mengatakan jaksa dan hakim telah terpengaruh untuk melakukan investigasi bermotif politik atas tuduhan yang diajukan ke Nasheed, mantan wakil presiden Ahmed Adeeb dan pemimpin oposisi lainnya.
Pengadilan memerintahkan penyelidikan baru dan persidangan akan dilakukan. Keputusan tersebut telah memberi energi baru bagi oposisi yang berharap Nasheed diizinkan pulang ke Maladewa untuk melawan Yameen dalam pemilihan presiden yang dijadwalkan pada Oktober mendatang.
Pada Senin, sebelum keadaan darurat diumumkan, seorang menteri mengundurkan diri untuk memprotes pembangkangan pemerintah terhadap Mahkamah Agung.
"Tidak mungkin bagi hati nurani saya untuk menerima kekurangan jawaban atas cara pemerintah menangani perintah pengadilan tertinggi di lembaga negara," kata Menteri Kesehatan negara bagian tersebutHussain Rasheed dalam surat pengunduran dirinya.