REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi V DPR yang membidangi infrastruktur dan perhubungan Fary Djemi Francis meminta agar pembangunan infrastuktur tetap mengutamakan faktor keselamatan dan keamaman. Menurutnya, jangan hanya karena mengejar target penyelesaian cepat membuat standar keamanan dan keselamatan menjadi diabaikan.
"Saya minta tolong jangan terlalu ramai meresmikan-meresmikan agar targetnya cepat terus kemudian yang terjadi lalu buru-buru dan kemudian mengabaikan safety dan security. Mau cepat oke, tapi juga safety dan security sangat penting," ujar Fary Djemi saat ditemui di sela-sela HUT Gerindra di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (6/2).
Hal ini disampaikan Fary Djemi setelah peristiwa musibah infrastuktur yang terjadi belakangan ini. Mulai dari jatuhnya crane hingga longsornya tanah di Jalan Parimeter Selatan Bandara Soekarno-Hatta. Dia mengatakan, belum lama ini DPR dan pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang jasa kontruksi yang didalamnya diatur terkait pembangunan jasa kontruksi harus berdasarkan safety dan security.
"Mestinya dengan UU itu, yang kita tetapkan bersama juga disetujui oleh Kementerian PUPR itu pemerintah harus bisa melaksanakan dengan sungguh-sungguh, tidak lagi terkesan apa kata banyak masyarakat setuju bangunnya cepat, mau cepat-cepat diresmikan dan kemudian mengabaikan safety dan security," ujarnya.
Politisi Partai Gerindra itu juga menyayangkan terjadinya kecelakaan kerja dalam proyek infrastruktur terjadi pada kontraktor dari BUMN. Karena itu menilai perlu dilakukan investigasi terhadap kontraktor-kontraktor tersebut.
"Tentu itu perlu investigasi dan itu sebenarnya menarik karena kejadian-kejadian itu adalah BUMN. Waskita karya. Nah itu jadi catatan kita. Kemarin kita sudah panggil itu dirutnya, ya kalau masih seperti ini, ya kita harus investigasi lebih dalam," ujarnya.
Dia mengatakan, setelah ada investigasi menyeluruh terkait hal tersebut, akan diketahui kesalahan dan kelalaian kontraktor. Sehingga juga akan diketahui sanksi yang akan dikenakannya. "Tergantung pada kasusnya. Tergantung pada tim investigasi yang dibentuk di Kemen PUPR untuk melakukan pendalaman investigasi. Nanti keliatan di situ sanksinya kan sudah diatur di UU. Semua ada kemungkinan terjadi kesalahan sesuai dengan tingkatannya," katanya.