REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai penguatan pendidikan karakter (PPK) yang dicanangkan pemerintah tidak pernah menyentuh level aplikasi di ruangan kelas. Karena itu, praktik-praktik kekerasan masih kerap terjadi di lingkungan sekolah.
"Selama ini PPK lebih banyak tertuang dalam penilaian rapor siswa saja. Bukan diimplementasikan dan ditanamkan secara ril dalam proses belajar kepada siswa. Sungguh pendidikan 'karakter' yang menyedihkan," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Lystiarti kepada Republika, Selasa (6/2).
Dia mengatakan, insiden tewasnya guru di SMAN 1 Torjun, Sampang Madura karena dianiaya siswa menjadi cermin rendahnya pendidikan karakter tersebut. Meskipun dalam kasus ini, bukan sepenuhnya disebabkan karena rendahnya pendidikan karakter. Namun, banyak faktor yang perlu dievaluasi. Salah satunya yaitu minimnya kemampuan guru melakukan pendekatan siswa yang memiliki perilaku menyimpang.
Dia menekankan, tidak mungkin siswa bersikap reaktif jika tidak ada sebab dan alasan yang kuat. "Mungkin si anak itu (HI, siswa yang menganiaya mendiang Budi Cahyono) tengah terhimpit masalah, atau memang dia emosionalnya melebihi anak lain. Itu contoh kasus ya, dan seperti ini harus jadi catatan dan perhatian guru itu sendiri seharusnya bagaimana bertindak," jelas Retno.
Selanjutnya, dalam menangani siswa bermasalah pun, seluruh komponen sekolah harus turun tangan. Tidak hanya mengandalkan guru Bimbingan Konseling, atau guru kelasa saja. Tetapi juga penanganan satuan pendidikan dengan orang tua dan lingkungan pertemanan siswa.
"Guru harus dilindungi, jadi jangan biarkan guru selesaikan masalah dalam keprofesian sendiri sehingga anak yang diberi sanksi. Sehingga siswa bisa melampiaskan dendam pada guru tersebut," tegas dia.