REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Sebuah simposium internasional yang menghadirkan pakar musik dari Indonesia, Australia dan Amerika Serikat akan membicarakan sebuah alat musik tradisional langka asal Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah.
Simposium ini akan diselenggarakan oleh Monash University di Melbourne, Kamis (8/2) dan akan membicarakan alat musik bernama bundengan, yang terbuat dari bambu dan juga berfungsi sebagai pelindung dari hujan dan panas oleh petani penggembala bebek di kawasan tersebut.
Prof Margaret Kartomi dari Sir Zelman Cowen School of Music Monash University yang menggelar acara tersebut mengatakan alat musik bundengan merupakan salah satu alat musik yang tidak banyak diketahui keberadaannya oleh masyarakat Indonesia. Namun sekarang di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, ada gerakan mempopulerkan alat musik tersebut.
Dalam perbincangannya dengan wartawan ABC, Selasa (6/2), Prof Margaret Kartomi menjelaskan simposium akan menghadirkan dan membahas bundengan, dari sisi sejarah, fungsi, dan aspek tata cara pembuatan alat tersebut. Selain berisi tinjauan keilmuwan, simposium yang diselenggarkan di kampus Monash University di Clayton juga akan menampilkan seniman asal Wonosobo yang akan mempertunjukkan bagaimana memainkan alat musik bundengan tersebut.
Prof Margaret Kartomi adalah seorang pakar etnomusikologi yang banyak melakukan penelitian mengenai musik-musik asal Indonesia. Dalam perjalananan di 1971 ke Indonesia, dia dan suaminya menemukan alat musik bundengan tersebut ketika mereka mengunjungi Dataran Tinggi Dieng.
"Saya kemudian membawa kembali ke Melbourne, alat musik bundengan ini ke Monash, dan belakangan, ada salah satu mahasiswa bernama Rosie Cook yang sekarang mengajar di Universitas Melbourne yang tertarik melakukan penelitian lebih mendalam mengenai bundengan untuk S2-nya," kata Margaret Kartomi.
Yang unik dari bundengan ini adalah bentuknya tidaklah seperti banyak alat musik tradisional lainnya. Demikian juga dengan fungsinya, bukan sekadar alat musik.
Bentuk bundengan ini yang terbuat dari bambu adalah setengah tudung, dan bila digunakan hanya sebagai alat pelindung dari cuaca oleh para petani maka alat tersebut kemudian disebut sebagai kowangan. Alat ini hanya disebut sebagai bundengan, ketika kemudian di beberapa bagian ditambahkan beberapa senar, dan menurut Margaret Kartomi, alat itu akan mengeluarkan bunyi yang menyerupai gamelan.
Menurut Prof Margaret Kartomi, bundengan menarik dibicarakan lagi karena sekarang alat ini dianggap sebagai ikon budaya dari kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Alat musik bundengan ini juga mendapat perhatian dari Palmer Keen, seorang etnomusikolog independen dari Amerika Serikat, yang sudah melakukan perjalanan keliling Indonesia selama beberapa tahun terakhir untuk merekam berbagai kegiatan musik tradisional.
Berbagai rekaman pertunjukkan musik maupun wawancara tersebut sudah dikumpulkan dalam sebuah situs bernama Aural Archipelago. Palmer Keen juga akan menjadi pembicara dalam simposium ini dan menjelaskan mengenai usaha dua komunitas di Wonosobo dan Temanggung, dua daerah yang mencakup Dataran Tinggi Dieng yang berusaha mempopulerkan kembali alat musik kowangan dan bundengan tersebut.
Selain pakar dari Australia dan AS, pakar musik dari Indonesia juga akan berbicara dalam simposium yaitu Said Abdulloh dan Luqmanul Chakim dari Institut Seni Indonesia di Solo, serta Dr Indraswari Kusumaningtyas dan Dr Geo OF Parikesit dari Fakultas Teknik UGM Yogyakarta.