REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Pemberitaan media mengenai isu anti-vaksin dapat menurunkan cakupan vaksinasi difteri yang dilakukan. Hal tersebut dikatakan oleh Komisaris Bio Farma, Ihsan Setiadi Latief. Mengingat, pada akhir 2017, Indonesia dilanda wabah Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri, dan diharuskan adanya vaksinasi yang dilakukan untuk mencegah hal tersebut.
Ihsan mengatakan, dengan adanya isu tersebut, jumlah kasus dan kematian dapat meningkat beberapa tahun setelahnya. Sebab, dengan adanya informasi yang salah mengenai vaksinasi, akan merugikan program imunisasi dan anak-anak.
Melalui pemberitaan mengenai isu tersebut, Ihsan mengatakan, dapat meningkatkan tuntutan transparansi oleh masyarakat. Dia mengatakan hak pasien untuk memilih tidak melakukan vaksinasi, namun hal tersebut sebenarnya penting dilakukan dalam mencegah berbagai penyakit.
"Terselenggaranya komunikasi modern, makin rumitnya informasi secara ilmiah dan menurunnya prevalensi penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi," kata Ihsan dalam acara Media Workshop "Towards a Leading Lifescience Company" bersama Bio Farma, Rabu (7/2), Cirebon, Jawa Barat.
Untuk itu, dia mengatakan, penting adanya dukungan dari media terkait isu tersebut. Hal itu dapat dilakukan dengan menghindari membuat berita yang terlalu dini, dengan terburu-buru menyimpulkan tentang penyebab dari kejadian pasca-imunisasi, sebelum adanya pelacakan lengkap. "Namun informasi harus tetap disampaikan ke masyarakat, bahwa investigasi belum lengkap dan penyebab pasti belum diketahui," tambahnya.
Vaksin sendiri, lanjutnya, sebelum digunakan telah melalui serangkaian penelitian. Selain itu, juga telah mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). "Vaksin Bio Farma juga telah mendapat pra-kualifikasi dari WHO," ujarnya.