REPUBLIKA.CO.ID, ASMAT -- Warga Asmat baru saja digemparkan dengan kasus kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk yang mengakibatkan puluhan anak meninggal dunia. Namun, jika melihat kondisi di pedalaman Kabupaten Asmat, masih banyak yang harus dibenahi oleh pemerintah, salah satunya terkait masalah air bersih.
Pada Rabu (7/2), Republika.co.id mencoba mengunjungi pedalaman Kabupaten Asmat, tepatnya ke Kampung Yausakor, Distrik Siret. Untuk menuju kampung ini, Republika.co.id naik kapal milik Dinas Perhubungan Admat bersama sejumlah relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang datang dari Jakarta. Kami menyusuri sungai panjang yang bercabang-cabang.
Setelah empat jam berlayar, kami akhirnya bisa tiba di Kampung Yausakor. Anak-anak kecil Papua berlarian menyambut kedatangan kami sambil melambaikan tangan dan kapal pun bersandar di pelabuhan kecil kampung Yaudakor.
Di kampung yang tak bersinyal ini, relawan ACT sempat memberikan penyuluhan kesehatan kepada warga setempat. Salah seorang warga, Aloh Timur (50) berharap kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberikan perhatian lebih kepada warga yang hidup di pedalaman Papua, termasuk tentang ketersediaan air bersih.
Sebagai seorang nelayan, Aloh mengaku masih sanggup menyekolahkan ketiga anaknya di Distrik Siret. Namun, menurut dia, untuk mendapatkan air bersih keluarganya masih sangat kesulitan, sehingga ia takut anak-anaknya terkena penyakit yang mengancam jiwanya.
"Warga di sini juga jarang yang memasak air, sehingga rawan penyakit," ujarnya saat berbincang dengan Republika.co.id.
Selain itu, ia juga mengakui bahwa warga di kampungnya juga masih sulit mengubah gaya hidupnya. Menurut dia, hal ini juga tak terlepas dari persoalan ekonomi dan juga kurangnya kesadaran tentang kesehatan.
"Di sini mungkin masih kurang perhatian juga sama makanan. Karena terlambat makan, makanan yang sudah basi juga tetap dimakan, akhirnya muntah-muntah," katanya.
Sementara itu, Wakil Bupati Asmat, Thomas E. Safanpo mengatakan bahwa masalah air bersih memang merupakan masalah terbesar di Kabupaten Asmat. Karena itu, ia berharap semua pihak juga menggarap masalah air bersih tersebut.
"Nah itu yang menjadi masalah terbesar kami, karena kita tahun 2006 kita pernah lakukan survei geolistrik sumber air bersih yang layak dikonsumsi ada di kedalaman 220 meter di bawah permukaan tanah dan kalaupun dilakukan pemboran itu membutuhkan teknologi yang tinggi dan mahal," ujarnya.
Sebelumnya, kata dia, pihaknya juga pernah melakukan kerja sama dengan pihak TNI yang menawarkan mesin pengolah air laut menjadi air bersih. Namun, menurut dia, kondisi tanah di Kabupaten Asmat tidak memungkinkan karena berlumpur, sehingga menjadi kendala tersendiri.
"Tapi kita terus mengupayakan bagaimana untuk mengelola air bersih, seperti di Agats sendiri kita ada lakukan instalasi di rawa yang mini, hanya masih dihitung apakah mencukupi untuk kebutuhan kita di sini. Karena rawa ini volumenya tidak terlalu besar dan tidak ada mata air," jelas Thomas.
Untuk mengatasi masalah air bersih ini, lembaga filantropi Islam, Aksi Cepat Tanggap (ACT) juga akan mencoba melakukan peninjauan ke distrik-distrik yang ada pedalaman. General Manager ACT, Lukman Azis mengatakan bahwa hasil temuan di Asmat akan dibicarakan lagi di Jakarta untuk mengatasi persoalan air bersih tersebut.
"Ini akan diskusikan dnegan Jakarta. Hasil temuan kita di sini akan dibicarakan ke Jakarta," Kata Lukman.