REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Komponen masyarakat sipil yakni LBH Bandar Lampung, PK2TL, KontraS dan Indonesia untuk Kemanusian (IKA) serta akademisi, melakukan doa bersama dan diskusi membedah proses penuntasan kasus hak Talangsari Lampung yang digelar di Kantor LBH Bandar Lampung, Kamis (8/2). Diskusi tersebut dalam rangka refleksi 29 tahun pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Talangsari,Kecamatan Wayjepara, Kabupaten Lampung Timur, Lampung.
Sebelum diskusi menonton film dokumenter Talangsari yang digarap Kontras. Film tersebut memperlihatkan bagaimana kondisi faktual sekarang pada korban maupun lokasi kejadian. Terungkap sejarah saksi hidup waktu kejadian.
Keluarga korban memperlihatkan gambaran bagaimana sadisnya tindakan kekejian yang terjadi di Talangsari, Kecamatan Wayjepara, Kabupaten Lampung Timur, Lampung. ''Persoalan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kasus Talangsari hanya dijadikan komoditi politik elit kekuasaan," kata Direktur LBH Bandar Lampung Alian Setiadi, Kamis (8/2).
Ia melanjutkan Presiden Joko Widodo pada masa kampanye Pilpres 2014, dan di dalam dokumen Nawa Cita telah menjadikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebagai prioritas untuk diselesaikan secara berkeadilan. Namun faktanya hingga saat ini Pemerintah Jokowi ingkar atas janjinya sendiri.
Menurut dia, para korban yang hadir dalam diskusi ini sangat menyesalkan sikap Presiden Jokowi yang hanya menjadikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebagai lips service untuk meraup dukungan publik semata. Presiden Jokowi malah mengangkat figur-figur pelanggaran HAM didalam lingkaran kekuasaannya.
Ia menyatakan, tindakan Presiden Jokowi ini bukan saja telah mencederai rasa keadilan bagi korban, tetapi juga menghambat proses hukum terhadap peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia. Dalam pandangan publik, Presiden Jokowi tidak bisa diharapkan lagi akan sungguh-sungguh menyelesaikan permasalahan impunitas masa lalu.
Dalam diskusi menyebutkan peristiwa Talangsari sebenarnya telah lama selesai proses penyelidikan projustisia oleh Komnas HAM. Pada 28 Oktober 2008, Komnas HAM telah menyerahkan hasil penyelidikannya ke Kejaksaan Agung, tetapi hingga saat ini tidak pernah ditindaklanjuti ke tahap penyidikan oleh Jaksa Agung.
Dalam konteks ini, Presiden Jokowi mengetahui kondisinya tetapi tidak pernah bersikap tegas terhadap Jaksa Agung. Presiden Jokowi dianggap tutup mata atas penderitaan para korban yang mengharapkan keadilan.
Ia menyatakan, fakta di lapangan bahwa korban terus menerus dalam keadaan yang tidak kunjung mendapat kejelasan bahkan upaya-upaya yang dilakukan oleh korban dan pendamping selalu mendapatkan resistensi aparat negara. Segala upaya untuk mengungkapkan kebenaran atas peristiwa ini banyak terkendala di tengah jalan. Padahal korban menuntut agar harkat dan martabat dipulihkan selayaknya.
Stigma dan diskriminasi yang sampai hari ini masih di terima oleh korban. Kesamaan dan kesetaran harus di penuhi oleh Negara kepada warga negaranya, katanya.
LBH Bandar Lampung mendorong pemerintah untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM berat Talangsari. Negara harus bertanggungjawab secara penuh baik hak atas kebenaran, keadilan, reparasi dan hak-hak ekonomi sosial budaya.
Pengakuan terhadap hak-hak korban harus menjadi perhatian yang serius yang harus cepat dipenuhi oleh negara. Pemenuhan hak atas pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan menjadi prioritas utama yang harus dilakukan negara.
"Pengungkapan kebenaran dan keadilan harus dilakukan. Agar tidak lagi terjadi tragedi kejahatan HAM khususnya di Lampung," katanya.