REPUBLIKA.CO.ID, ASMAT -- Status kejadian luar biasa (KLB) campak di Asmat memang telah dicabut oleh pemerintah Kabupaten Asmat pada Selasa (6/2) lalu. Namun, bukan berarti permasalahan selesai, karena masalah gizi buruk masih menghantui kesehatan anak-anak Asmat.
Banyak hal yang masih harus dilakukan oleh berbagai pihak, terutama untuk program pendampingan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini lah yang saat ini dilakukan oleh sejumlah lembaga filantropi Islam di pedalaman Papua ini.
Republika.co.id sempat menyaksikan langsung saat lembaga filantropi Islam Aksi Cepat Tanggap (ACT) mendampingi warga yang tinggal di Kampung Yausakor, Distrik Siret, Rabu (7/2). Di kampung ini, para orang tua dan anak tampak berkumpul di ruangan Sanggar Seni yang dibangun dari papan.
Ahli gizi kesehatan masyarakat yang menjadi relawan ACT, Harum Aulia Rahmawati menjelaskan tentang asupan gizi yang baik kepada ibu-ibu untuk diberikan kepada anaknya. Perempuan berkacamata ini juga menjelaskan tentang pentingnya kesehatan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh warga bersama dokter Arini dan suster Nurul Jannah.
"Situasi gizi buruk di Distrik Siret, Yausakor saat ini ada empat orang yang mengalami gizi buruk dan sudah ditangani oleh pihak RSUD Kabupaten Agats," ujar Aulia saat diwawancara di sela-sela acara.
Warga Asmat saat diberikan bimbingan kesehatan oleh relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kampung Yausakor, Distrik Siret, Kabupaten Asmat, Rabu (7/2).
Menurut dia, seorang balita yang mengalami gizi buruk dapat diidentifikasi dari tinggi berat badannya. Kemudian disesuaikan dengan zat score. Jika balita tersebut berada di bawah minus 3 standar deviasi, baru bisa dikatakan menyandang status gizi buruk. Sementara itu, untuk penyebabnya sendiri salah satunya karena ketahanan pangan.
"Ketersediaan pangan di sini memang sangat kurang sekali. Lahan di sini sulit untuk bercocok tanam. Untuk menanam padi dan sayur-sayuran juga cukup sulit karena lahannya lumpur dan becek," ucapnya.
Menurut dia, agar kasus gizi buruk di Asmat tidak terulang lagi, pola pikir masyarakat di kampung ini juga harus diperbaiki, karena pengetahuan tentang gizi seimbang sangat kurang sekali.
"Mereka yakin makan sagu saja sudah cukup padahal kita tahu gizi seimbang itu tidak hanya memakan sagu sebagai sumber karbohidrat, kita juga perlu protein, sayuran, buah dan air bersih minimal 18 atau 2,5 liter per hari," katanya.
Sementara itu, lembaga filantropi Islam lainnya, Dompet Dhuafa juga menggelar kegiatan yang hampir sama di Pusat Pemerintahan pada Rabu (7/2). Dompet Dhuafa menyelenggarakan kegiatan skrining status gizi di Kampung Bis, Distrik Agats.
Ada sekitar 78 anak yang diperiksa status gizinya oleh relawan Dompet Dhuafa. Namun, cukup banyak ibu yang tidak tahu tanggal lahir anaknya, sehingga menyulitkan petugas untuk menilai status gizinya.
Pada umumnya anak di kampung ini perutnya buncit yang diduga kuat karena cacingan. Selain karena kebiasaan anak yang bermain di tempat sampah, kualitas air dan lingkungan di pemukiman padat tersebut juga tampak kurang higienis.
Salah seorang relawan Dompet Dhuafa yang sudah berada di Asmat sejak sebulan lalu, dr. Halik menjelaskan bahwa sebelumnya seluruh tim medis telah bekerja satu komando di bawah Satgas TNI untuk menangani KLB campak dan gizi buruk.
Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain penemuan kasus untuk dirujuk, imunisasi massal di sekolah dan kampung, pembekalan kepada relawan lokal, dan pemberian makanan tambahan.
"Nah ketika KLB sudah selesai, hal yang selanjutnya perlu dilakukan adalah pendampingan untuk pasien yang telah dipulangkan ke kampung dan pemeriksaan status gizi seluruh anak untuk antisipasi jangka panjang," ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (9/2).
Dengan demikian, lanjut dia, setiap anak bisa dikawal tumbuh kembangnya dan kasus KLB tidak terulang kembali. Karena itu, inisiatif untuk memulai skrining gizi dari kampung ke kampung perlu untuk mendapat dukungan dari semua pihak.
Sementara itu, General Manajer Kesehatan Dompet Dhuafa, dr. Rosita Rivai juga menegaskan bahwa untuk menyelesaikan masalah gizi di pedalaman Papua ini mutlak diperlukan kolaborasi dari seluruh pihak, baik instansi pemerintah, lembaga kemanusiaan, maupun komunitas lainnya.
"Program intervensi gizi mesti tepat sasaran dan berbasis temuan lapangan, programnya harus cocok dengan karakter sosial budaya masyarakat, dan perlu berkelanjutan, tidak kick and run, pos sehat sendiri akan memberikan pelayanan setidaknya selama setahun ke depan," kata dokter kemanusiaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini.