REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kabupaten Bogor rawan akan gerakan tanah yang bisa menyebabkan bencana longsor sepanjang Februari. Menurut data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, seluruh kecamatan di Kabupaten Bogor memiliki tingkat potensi gerakan tanah menengah hingga tinggi.
Bahkan, sebanyak 14 kecamatan di antaranya berpotensi banjir bandang atau aliran bahan rombakan. Yaitu, fenomena di mana percampuran air, lumpur dan kerikil mengalir dengan kecepatan tinggi hingga menyebabkan kerusakan pada infrastruktur jalan maupun pemukiman.
Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor, Budi Pranowo, mengatakan, tingginya potensi gerakan tanah di Kabupaten Bogor sebenarnya bukanlah hal baru. "Sebab, topografi daerah sini banyak sungai, perbukitan dan gunung," ucapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (9/2).
Penyebab lain adalah perbedaan cuaca terbilang ekstrim dalam hitungan hari. Retakan tanah yang terjadi pada musim kemarau terkena air hujan saat musim penghujan, hingga menyebabkan tanah mudah mengalami pergeseran.
Sebelumnya, pada Oktober 2017, Kabupaten Bogor juga meningkatkan kesiagaan, di mana sebagian besar kecamatan berpotensi tinggi mengalami gerakan tanah. Setidaknya, saat itu, 38 kecamatan masuk dalam kategori menengah sampai tinggi.
Untuk kondisi saat ini, Budi menuturkan, pihaknya tetap akan melakukan antisipasi serupa. Yakni, menginformasikan kepada aparatur pemerintah tingkat kecamatan untuk mengimbau kepada masyarakat agar selalu waspada. "Terutama, mereka yang tinggal di lereng," ujarnya.
Dari beberapa lokasi di Kabupaten Bogor, Budi menunjuk, kawasan lereng sebagai area dengan potensi paling tinggi. Salah satu di antaranya, jalur Puncak yang baru saja mengalami longsor pada Senin (5/2) hingga mengakibatkan satu orang tewas dan satu kritis.
Tidak hanya di jalan utama, Budi melihat bahwa potensi gerakan tanah juga dirasakan di kawasan pemukiman. "Biasanya, terjadi di lokasi yang agak dalam, jadi tidak kelihatan oleh masyarakat luas, tapi dampaknya sebenarnya juga nggak kecil," ucapnya.
Budi mengklaim, sudah berbagai cara dilakukan guna mengantisipasi. Termasuk, merelokasi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Sementara 700 rumah sudah direlokasi pada 2016, tahun lalu, setidaknya jumlah yang sama di tempat lain juga sudah dipindahkan ke tempat lebih aman.
Semenrara itu, untuk tahun ini, Budi belum menentukan seberapa banyak rumah yang akan direlokasi. Ia masih menunggu rapat koordinasi dengan aparatur pemerintah dan dinas terkait untuk bisa melakukan relokasi.
Jawaban yang sama juga terlontar dari Camat Cisarua, Bayu. Ia mengaku sudah menerima data dari PVMBG terkait 22 titik longsor yang terjadi di kawasannya pada Senin (5/2). Tapi, untuk langkah selanjutnya, ia harus menunggu diskusi para pihak.
Bayu menuturkan, upaya rutin yang sudah dilakukannya selama ini adalah mengimbau masyarakat untuk tidak tinggal di daerah rawan longsor. "Kami sudah melakukan imbauan, tapi itu kembali lagi ke masyarakat," ujarnya.
Perekayasa Madya PVMBG, Imam Santosa, menjelaskan, masyarakat yang tinggal di pedalaman sudah sepatutnya menjadi fokus perhatian. Sebab, akses mereka tidaklah mudah menuju jalur utama. Dampaknya, jika terjadi longsor susulan, mereka berpotensi terisolir.
Dari data kajiannya, Imam melihat, sebagian besar titik longsor yang kemarin terjadi berada di daerah pemukiman. Terparah, di Desa Cisuren itu. Dampaknya sebenarnya hampir sama dengan di Riung Gunung dan Attawun. Tapi, karena bukan di jalan utama dan tidak sampai menimbulkan korban jiwa, jadi tidak terekspos.
Dari hasil kajiannya itu, PVMBG akan memberikan peta rawan pergerakan tanah pada pemerintah pusat dan kabupaten. Imam merekomendasikan, masyarakat di jalur rawan bencana ini untuk segera diungsikan atau diajak untuk pindah secara permanen mengingat potensi longsor susulan masih ada sampai akhir Maret.