REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia menyelidiki penyebaran berita penganiayaan seorang santri di Garut beberapa waktu lalu. Penyebaran berita tersebut telah menimbulkan kegaduhan. Ssetelah direkonstruksi, penganiayaan tersebut ternyata merupakan berita palsu atau hoaks.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Polisi Martinus Sitompul mengatakan, berbagai kemungkinan dan berbagai motif menjadi dasar bagi para pembuat dan pengedar berita hoaks tersebut. Karena itu, kepolisian perlu menyelidiki lebih dalam motif hoaks tersebut.
"Apakah terkait dengan motif politik, motif ekonomi, apakah setelah memproduksi kemudian mendapat imbalan uang? Tentu akan kami dalami," kata Martinus di Markas Besar Polri, Jakarta, Jumat (9/2).
Dia pun mengingatkan agar masyarakat tidak melakukan hal yang menimbulkan berbagai spekulasi di masyarakat seperti berita penganiayaan tersebut. Martinus mengatakan, polisi akan melakukan penyelidikan motif para penyebar hoaks tersebut.
"Jangan membuat kegaduhan karena kami akan melakukan tindakan tegas berdasarkan hukum kepada para penyebar dan yang memproduksi berita bohong ini," kata Martinus.
Martinus pun menyayangkan, hoaks tersebut tersebar dekat dengan kasus penganiayaan tokoh agama Islam di Bandung. Ia memastikan polisi telah melakukan tindakan tegas pada para pelaku penganiayaan. Begitu pula pada penyebar hoaks, akan diperiksa mendalam oleh kepolisian.
“Kami sayangkan bahwa penyebar hoaks, dan yang membuat menimpa para ulama kita. Kita harus melakukan tindakan tegas kepada mereka," ujar Martinus.
Sebelumnya, Polres Garut menyelidiki kasus dugaan penganiayaan terhadap salah satu santri Pondok Pesantren Al-Futuhat di Kecamatan Leles sejak Senin (5/2) lewat prarekonstruksi hingga pengumpulan keterangan. Hasilnya, Polres menetapkan dugaan kasus itu tak terbukti pernah terjadi. Informasi yang ramai dibicarakan di media sosial itu hanya sebatas bohong alias hoaks.