REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyepakati klausul baru dalam revisi Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Hal ini berkaitan klausul kewajiban polisi membantu DPR dalam memanggil paksa pihak yang tidak mau datang saat dipanggil DPR dalam fungsi pengawasan.
Menanggapi hal tersebut, Kabag Penum Polri Kombes Martinus Sitompul menegaskan tindakan apapun yang dilakukan Polri harus sesuai UU. Martinus mengatakan, pada prinsipnya Polri merupakan unsur eksekutif di bidang Harkamtibmas, pelayanan publik dan penegakan hukum. Dalam mengoperasionalkan pelaksanaan tugas, menurutnya Polri akan tetap mengikuti aturan-aturan yanf telah ditetapkan dalam bentuk UU, dalam bentuk keputusan, dalam bentuk peraturan.
"Dan apabila dalam sebuah proses penegakan hukum, tentu kami juga berdasarkan KUHAP. Bagaimana kami mengelola sebuah proses penegakan hukum, jangan sampai kami melanggar hukum," ujar Martinus di Markas Besar Polri, Jakarta, Jumat (9/2).
Nantinya, bila Draf RUU MD3 yang mewajibkan Polri untuk melakukan bantuan pemanggilan paksa telah menjadi undang-undang, maka Polri pun akan melakukannya.
"Kalau pun ada perubahan-perubahan dalam tatanan dalam hal melakukan pemeriksaan, dalam hal melakukan proses penyidikan, tentu kami harus mendasarkan kepada ketentuan yang ada," katanya.
"Sangat berat bagi Polri apabila sebuah tindakan yang dilakukan (Polri) kemudian melanggar hukum," ucapnya.
Namun, mengenai penyusunan draf RUU tersebut, Polri tidak berada dalam posisi mendukung atau menolak, karena tugas tersebut merupakan tugas legislatif. Saat ditanya soal keberatan atau tidaknya dengan peraturan tersebut, Martinus menjawab diplomatis. "Kembali lagi aturannya seperti apa, itu yang kita ikuti," ujarnya.