REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menikah dengan seorang pria Muslim tak serta-merta membawa Kara Allouzi pada hidayah. Ia tetap kokoh pada agama yang diajarkan kedua orang tuanya hingga ia memiliki anak yang bersekolah di sekolah Islam.
Awalnya, wanita Amerika ini enggan menyekolahkan anak-anaknya di madrasah. Namun, atas permintaan suaminya yang sakit, ia pun terpaksa memasukkan buah hatinya ke sana dengan berat hati.
Tak disangka, sekolah Islam sang anak justru membuatnya mengenal Islam. Wanita 45 tahun ini pun tak segan belajar agama Islam bersama dengan anaknya.
“Setelah saya menempatkan mereka di sekolah, saya datang ke sana dan merasa betapa indah Islam itu. Sekolah mereka benar-benar menunjukkan keindahan agama. Bukan hanya sisi agama, tapi juga cara hidup,” ujar Kara.
Kisah hidayah Kara sebenarnya telah dimulai sejak ia menikah dengan seorang Muslim. Suaminya seorang Muslim yang taat dan baik hati. Kara pun belajar sedikit demi sedikit tentang Islam dari sang suami.
Namun, saat itu hati Kara belum merasakan manisnya hidayah. Wanita kelahiran Amerika ini hanya belajar, namun sama sekali tak berniat untuk pindah agama.
Hingga kemudian suaminya jatuh sakit. Pada saat yang sama, sebuah sekolah Islam dibuka. Sang suami pun segera ingin memasukkan anak-anaknya ke sana. “Karena dia sakit, aku pun setuju. Tapi, sebenarnya aku tak ingin menempatkan mereka di sana. Bukan karena aku tidak ingin anak-anakku menjadi Muslim, tapi karena aku takut mereka menjadi unit kecil Muslim. Suamiku dan anak-anak sebagai Muslim dan aku akan menjadi orang luar, orang asing,” kata Kara.
Sejak kecil, Kara dibesarkan dekat dengan gereja. Ayahnya merupakan seorang Katolik dan ibunya beragama Protestan. Keduanya merupakan nasrani yang taat. Namun, Kara berkisah ia mendapat teka-teki tentang Tuhan Allah saat mengingat masa lalu. Teka-teki konsep ikhlas dari orang tuanya yang selau mengajarkan Kara agar melakukan segala sesuatu karena Allah.
“Orang tua membesarkan saya sebagai kristiani, tetapi pada saat yang sama mereka juga membesarkan saya layaknya seorang Muslim. Mereka dulu selalu mengatakan, ‘Jangan lakukan ini, jangan lakukan itu karena kami yang melarangnya. Tapi karena Allahlah yang meminta untuk tidak melakukan itu’,” ujar Kara.
Dengan kata lain, Kara telah belajar konsep ikhlas di masa lalu, sedangkan konsep Islam setelah menikah. Mempelajari tiga tiang agama secara terbalik, Kara pun kemudian mencari tahu tentang konsep iman.
Hati kara telah dipenuhi moralitas agama sejak kecil. Namun, keyakinan Islam belum dirasa cukup bagi Kara. Hingga ia berkunjung ke sekolah Islam tempat anak-anaknya belajar. “Sekolah mereka benar-benar menunjukkan keindahan agama, bukan hanya sisi agama, tapi juga cara hidup,” kata Kara.
Maka, dimulailah saat bagi Kara melakukan pencarian hidayah. Berbekal apa yang telah terjadi dalam kehidupannya yang seakan-akan telah mengantarkannya pada hidayah, Kara pun mencari bimbingan tentang Islam. Tak sulit bagi Kara mendapatkannya dan tak memakan waktu lama hingga akhirnya ia mantap berislam.
Pada 1993 Kara pun memeluk Islam. Sudah hampir 20 tahun Kara menjadi mualaf dan ia sangat bahagia dan besyukur.
Setelah berislam, Kara tak pernah merasa mendapat tantangan yang berat. Ia dapat hidup normal meski Islam merupakan agama minoritas di AS. “Ketika kita non-Muslim menjadi Muslim, kita dapat hidup normal. Jangan berpikir tentang apa yang mungkin terjadi kepada Anda, tapi cari tahulah apa yang akan terjadi pada hidup Anda yang akan menjadi indah. Dengarkan hati Anda dan jangan mendengarkan orang lain,” ujar Kara memberikan saran kepada para non-Muslim yang membaca kisahnya.
Kara membagi perasaannya yang begitu bahagia setelah berislam. Menurutnya, kedamaian meliputi hidupnya pascamemeluk Islam. Sukacita juga memenuhi hidup Kara setelah menjadi mualaf. Ia pun tak pernah berpikir untuk melepaskan hidayahnya.
Pindah ke Yordania
Setelah merasakan manisnya hidayah, Kara memulai hidup baru. Ia memilih hijrah ke Aman, Yordania. Di sana ia pun membangun bisnis les bahasa Inggris untuk orang Arab. Suaminya yang telah sehat pun membantunya membangun bisnis tersebut.
Kara memiliki kekuatan akademis, sedangkan suaminya pandai membangun hubungan dengan orang-orang Arab, termasuk mengurus ke kementerian. Jadilah keluarga Kara bekerja sama mempromosikan tempat belajar bahasa Inggris tersebut.
“Saya direktur untuk ESC Center di Amman, Yordania. Kami mengajarkan bahasa Inggris untuk kalangan dewasa. Ini benar-benar diurus keluarga. Suami saya sangat membantu saya. Ke depan, kami berharap membuka center lain di kawasan Timur Tengah, di wilayah Teluk, bahkan di Suriah dan Lebanon. Insya Allah,” ujar Kara.