REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum Gubernur Jambi Zumi Zola, Muhammad Farizi mengatakan kliennya siap mengklarifikasi atas barang dan aset yang disita saat penggeledahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengeledahan dilakukan KPK di rumah dinas Gubernur Jambi dan vila milik keluarga Zumi Zola.
"Berkaitan dengan adanya sangkaan menerima hadiah atau janji terhadap Zumi Zola, sebagaimana ketentuan perundangan-undangan, Zumi Zola siap dan bersedia melakukan klarifikasi atas barang barang dan aset yang didapat dari penggeledahan KPK tersebut dengan sejelas-jelasnya," kata Farizi di Jakarta, Jumat (9/2).
Adapun penggeledahan itu dilakukan di rumah dinas Gubernur Jambi dan vila milik keluarga Zumi Zola di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Dalam penggeledahan itu, tim KPK menemukan uang dalam pecahan rupiah dan dolar AS.
Ia pun menyatakan berdasarkan Berita Acara Penyitaan tertanggal 31 Januari 2018 bahwa penyitaan tersebut adalah dalam perkara atas nama tersangka Arfan. Begitu pula, kata dia, dengan penggeledahan dan penyitaan di Tanjung Jabung Timur yang merupakan bagian dari penyidikan dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SPRIN.DIK/14/DIK 00/01/01/2018 terhadap tersangka Arfan.
Lebih lanjut, ia menyatakan permasalahan yang menjerat kliennya itu diawali adanya ketidaksepahaman dalam rancangan RAPBD Provinsi Jambi antara Pemerintah Daerah Provinsi Jambi dengan DPRD Provinsi Jambi. Menurutnya, saat pembahasan RAPBD sebagian dari anggota DPRD menghendaki memasukkan beberapa proyek yang tidak terdapat di dalam RAPBD Provinsi Jambi.
"Melihat hal tersebut, Zumi Zola selaku Gubernur dan beberapa pejabat Pemprov Jambi tidak setuju dengan keinginan anggota DPRD mengingat perubahan tersebut akan melanggar aturan sehingga pembahasan RAPBD tersebut menjadi berlarut-larut," tuturnya.
Terkait hal itu, Zumi Zola, kata dia, memohon agar didatangkan tim KPK untuk memberikan penyuluhan di Jambi, mengingat saat itu sedang ada tarik-menarik pembahasan RAPBD 2018.
"Permintaan itu direalisasikan dengan datangnya Wakil Ketua KPK Laode M Syarif pada November 2017. Pada kesempatan itu Laode Syarif sempat menyindir Ketua DPRD Jambi agar DPRD tidak mempersulit dalam pembahasan RAPBD," ungkap Farizi.
Tersangka Zumi Zola baik bersama dengan Arfan maupun sendiri diduga menerima hadiah atau janji terkait proyek-proyek di Provinsi Jambi dan penerimaan lain dalam kurun jabatannya sebagai Gubernur Jambi periode 2016-2021 sejumlah sekitar Rp6 miliar.
Zumi dan Arfan disangkakan pasal 12 B atau pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal 12 B mengatur mengenai Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Selain itu, tersangka Arfan selaku Kabid Binamarga Dinas PUPR provinsi Jambi serta sebagai pejabat pembuat Komitmen merangkap Plt Kepala Dinas PUPR provinsi Jambi diduga menerima hadiah atau janji terkait proyek-proyek di Dinas PUPR provinsi Jambi tahun 2014-2017 dan penerimaan lain.
Kasus ini adalah pengembangan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 29 November 2017 lalu terhadap Plt Sekretaris Daerah Provinsi Jambi Erwan Malik, Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Jambi Arfan, dan Asisten Daerah Bidang III Provinsi Jambi Saifudin dan anggota DPRD Provinsi Jambi 2014-2019 Supriono.
KPK menetapkan Supriono sebagai tersangka penerima suap, sedangkan pemberi suap adalah Erwan, Arfan dan Saifuddin. Artinya, Arfan ditetapkan sebagai tersangka untuk dua kasus yang berbeda.
Total uang yang diamankan dalam OTT itu adalah Rp4,7 miliar. Pemberian uang itu adalah agar anggota DPRD Provinsi Jambi bersedia hadir untuk pengesahan RAPBD Provinsi Jambi Tahun Anggaran 2018 karena para anggota DPRD itu berencana tidak hadir dalam rapat pengesahan RAPBD 2018 karena tidak ada jaminan dari pihak Pemprov.
Untuk memuluskan proses pengesahan tersebut, diduga telah disepakati pencarian uang yang disebut sebagai "uang ketok". Pencarian uang itu dilakukan pada pihak swasta yang sebelumnya telah menjadi rekanan Pemprov.