REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte mempersilakan Pengadilan Pidana Internasional (ICC) untuk terus menyelidiki dan menginvestigasi kejahatan terhadap kemanusiaan yang diduga dilakukannya. Namun, ia mengatakan dia lebih memilih untuk menghadapi regu tembak daripada harus dipenjara.
Duterte selama ini selalu membantah tuduhan yang mengatakan ia telah memberikan perintah kepada polisi untuk membunuh pengedar narkoba. Terkait kasus ini, ia mempertanyakan apakah ICC memiliki yurisdiksi untuk mendakwanya atas kematian ribuan warga Filipina dalam perang narkoba yang dijalankannya.
Pada Kamis (8/2), jaksa ICC Fatou Bensouda mengatakan tahap awal pemeriksaan terhadap Duterte akan menentukan apakah ICC memiliki yurisdiksi. ICC juga akan menyelidiki apakah kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan.
"Saya akan meminta hak istimewa untuk berbicara dengan Anda. Hanya kita berdua. Saya mempersilakan Anda jika Anda ingin mencari kesalahan saya, silakan saja. Cari tempat yang menyediakan eksekusi dengan regu tembak dan saya siap," kata Duterte dalam konferensi pers Jumat (9/2), mengacu pada Bensouda.
"Jika Anda hanya akan membawa saya ke dalam pengadilan dan persidangan, maka tidak perlu. Lanjutkan, lanjutkan penyelidikan Anda, buktikan saya bersalah, tentu saja Anda bisa melakukan itu," tambah dia.
Sekitar 4.000 warga miskin Filipina di perkotaan telah tewas terbunuh oleh polisi dalam perang narkoba Duterte, yang telah membuat masyarakat internasional khawatir. Aktivis percaya jumlah korban tewas jauh lebih tinggi dan mereka menuduh polisi telah melakukan eksekusi secara sistematis.
Penyelidikan terhadap Duterte merupakan langkah formal pertama yang diajukan jaksa ICC dalam mempertimbangkan apakah situasi tertentu di negara anggotanya dapat dijadikan tuntutan. Proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Pada Jumat (9/2), penasihat hukum Duterte dan jaksa agung mengatakan persidangan beberapa kasus yang berkaitan dengan aksi anti-narkoba Duterte telah tertunda di pengadilan. Selain itu, penyelidikan Senat juga tidak menemukan bukti adanya kesalahan.
Laporan yang didapat ICC berasal dari seorang pengacara dan dua anggota parlemen. Dua pelaku pembunuhan juga mengaku mereka membunuh atas perintah Duterte saat masih menjabat sebagai wali kota.
Duterte mengaku ia meragukan ICC memiliki yurisdiksi di Filipina karena aksesi terhadap Statuta Roma pada 2011 tidak pernah diumumkan di dalam pernyataan resmi negara tersebut, sebagaimana yang telah dipersyaratkan. Dia juga melampiaskan kemarahannya atas tuduhan pembunuhan di luar hukum dan mengatakan istilah tersebut tidak dapat didefinisikan.
"Apa itu pembunuhan di luar hukum? Tidak ada ketentuan untuk pembunuhan di luar hukum, itu tidak didefinisikan di manapun," ujar Duterte.