REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat menyatakan keprihatinan atas kemungkinan Malaysia memulangkan 11 Muslim Uighur ke Cina, Jumat (9/2). Sebuah laporan Reuters mengatakan Beijing menginginkan negara Asia Tenggara itu menyerahkan warga Uighur yang melarikan diri dari Thailand.
Dengan mengutip sumber, Reuters melaporkan pada Kamis 11 warga suku Uighur, yang termasuk di antara 20 yang lolos dari penjara Thailand pada tahun lalu, ditahan di Malaysia dan Beijing dalam pembicaraan dengan Malaysia mengenai upaya pemulangan mereka.
Malaysia berada di bawah "tekanan besar" dari Cina untuk menyerahkan mereka kepada Beijing, tidak ke Thailand, dan beberapa utusan Barat mencoba menghalangi negara itu mengirim warga Uighur ke Cina, kata sumber tersebut.
"Kami prihatin atas laporan media mengenai kemungkinan Malaysia mengirim orang Uighur ke Cina," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat kepada Reuters melalui surat elektronik.
"Kami mendesak pihak berwenang Cina menegakkan norma hak asasi manusia internasional berkenaan dengan individu yang telah kembali ke Cina, dan untuk memastikan transparansi, proses yang matang, dan perlakuan yang aman dan tepat untuk individu-individu ini," katanya.
Human Rights Watch meminta Malaysia untuk memastikan warga Uighur yang ditahan tidak dideportasi secara paksa ke China karena mereka menghadapi "ancaman penjara dan penyiksaan".
"Pihak berwenang Malaysia harus mengizinkan orang-orang ini mengakses proses yang adil untuk menentukan klaim pengungsi mereka, bukan mengirimkannya ke Cina berdasarkan tuntutan Beijing," kata Brad Adams, direktur kelompok hak asasi Asia, dalam sebuah pernyataan pada Jumat.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Geng Shuang pada Kamis mengatakan bahwa dia tidak mengetahui kasus Uighur yang ditahan di Malaysia. Beijing menuduh ekstremis separatis di kalangan minoritas Uighur merencanakan serangan terhadap mayoritas Han di Cina di wilayah barat, Xinjiang, yang bergolak dan daerah lain di Cina.
Cina telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang, penyiksaan terhadap tahanan Uighur dan kontrol ketat terhadap agama dan budaya mereka. Cina menyangkal melakukan kesalahan. Selama bertahun-tahun, ratusan, mungkin ribuan, warga Uighur telah lolos dari kerusuhan di Xinjiang dengan bepergian secara sembunyi-sembunyi melalui Asia Tenggara ke Turki.
Ke-20 warga Uighur itu melarikan diri dari sebuah sel dekat perbatasan Thailand-Malaysia pada November dengan menggali lubang di dinding dan menggunakan selimut sebagai tangga. Lima di antaranya ditangkap di Thailand akhir bulan itu. Pelarian tersebut merupakan bagian dari kelompok yang lebih besar dari 200 warga Uighur yang ditahan di Thailand pada 2014.
Anggota kelompok tersebut menyebut diri mereka warga negara Turki dan meminta dikirim ke Turki, namun lebih dari 100 orang dipaksa kembali ke Cina pada Juli 2015, yang memicu kecaman internasional, termasuk dari kelompok hak asasi manusia, yang mengkhawatirkan mereka menghadapi penyiksaan di Cina.