REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menilai praktik korupsi yang dilakukan oleh pejawat kepala daerah tidak hanya disebabkan oleh mahal mahar politik. Oleh karena itu pihaknya harus melihat fakta lain yang berkembang sebelum konstentasi pilkada.
"Memang memanfaatkan mementum pikada untuk mendapatkan banyak uang. Apalagi kebutuhan biaya politik juga mahal," ujar Adnan, saat dihubungi melalui pesan singkat, Senin (12/2).
Adnan menambahkan, sebenarnya tidak hanya mahar politik saja yang membebani para calon kepala daerah. Beban lain adalah, uang untuk biaya saksi, biaya keperluan kampanye, bahkan kata Adnan, money politic yang tidak sedikit. Maka dengan demikian, pengakuan mantan Ketua PSSI, La Nyalla Mahmud Mattalitti terkait mahar politik beberapa waktu lalu adalah gambarannya.
"Apalagi jika konteksnya adalah bupati yang ingin mencalonkan diri di level gubernur, seperi Bupati Ngada. Maka uang yang dibutuhkan lebih besar dibanding saat dia mencalonkan di level bupati," jelasnya.
Lanjut Adnan, faktor lainnya adalah, tidak menutup kemungkinan mereka hendak memperkaya diri sekaligus memperkuat posisi kekuasaan dengan cara yang korup. Maka dari itu dirinya berpendapat peluang korupsinya ada di berbagai momentum.
Memang, ungkap Adnan, fenomena tersebut membuktikan bahwa sistem kontrol tidak jalan. Apalagi kepala daerah itu memiliki kekuasaan yang begitu kuat untuk mengendalikan kekuasan mereka.
"Salah satunya dengan menyuruh atau meminta pejabat di bawahnya untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya bertentangan prinsip-prinsip dasar sebagai pejabat publik," tutur Adnan.
Sebelumnya, jelang Pilkada serentak 2018, sejumlah kepala daerah terjaring OTT oleh KPK. Terakhir lembaga antirasuah tersebut berhasil mengamankan Bupati Ngada Marianus Sae dalam operasi senyapnya. Beberapa hari sebelumnya, Bupati Jombang Nyono Suharli, juga ditangkap KPK karena diduga menerima suap.